APLIKASI HUKUM ISLAM
DALAM PRAKTIK EKONOMI ISLAM
DI INDONESIA
Oleh:
Rahmani Timorita Yulianti
Perkembangan ekonomi Islam di tanah air, meliputi kajian akademis di Perguruan Tinggi maupun secara praktik operasioanl seperti yang terjadi di lembaga- lembaga perekonomian Islam seperti Perbankan Syariah, Asuransi Syariah, Pasar Modal Syariah, dan sebagainya. Perkembangan tersebut diharapkan semakin melebar meliputi aspek dan cakupan yang sangat luas, seperti kebijakan ekonomi negara, ekonomi pemerintah daerah, ekonomi makro (kebijakan fiskal, public finance, strategi mengatasi kemiskinan serta pengangguran, inflasi, kebijakan moneter), dan permasalahan ekonomi lainnya, seperti upah dan perburuhan dan lain-lain. Dalam perkembangan di bidang lembaga perekonomian agar mampu bersaing dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat bisnis modern, diperlukan inovasi-inovasi produk dengan tetap mematuhi prinsip-prinsip syariah dalam operasionalnya.Walaupun terkesan agak lambat jika dibandingkan dengan maraknya lembaga-lembaga perekonomian Islam di Indonesia, tetapi hadirnya Kompilasi Hukum Ekonomi Islam (KHES) di Indonesia pada akhir 2008 yang lalu patut diapresiasi secara baik. Paling tidak KHES merupakan terobosan baru dalam aspek pemikiran hukum ekonomi Islam di Indonesia. Aplikasi hukum Islam dalam praktik ekonomi Islam di Indonesia lainnya adalah diterapkannya fatwa-fatwa DSN MUI yang menjamin produk dan operasional lembaga-lembaga perekonomian Islam di Indonesia telah sesuai dengan prinsip syariah.
Perkembangan praktik ekonomi Islam di Indonesia mulai mendapatkan momentum yang berarti sejak didirikannya Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1992. Pada saat itu sistem perbankan Islam memperoleh dasar hukum secara formal dengan berlakunya UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan, yang telah direvisi dalam UU nomor 10 tahun 1998. Selanjutnya berturut-turut telah hadir beberapa UU sebagai bentuk dukungan pemerintah terhadap kemajuan praktik ekonomi Islam di Indonesia.
Praktik ekonomi Islam di bidang lembaga perekonomian mengalami akselerasi yang signifikan, baik di dunia maupun di Indonesia. Pada era modern ini, perbankan syariah sebagai salah satu lembaga perekonomian telah menjadi fenomena global, termasuk di negara-negara yang tidak berpenduduk mayoritas muslim. Berdasarkan prediksi McKinsey pada tahun 2010 total aset mencapai satu miliar dolar AS. Tingkat pertumbuhan 100 bank syariah terbesar di dunia mencapai 27 persen per tahun dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan 100 bank konvensional terbesar yang hanya mencapai 19 persen per tahun.
UU No 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU No 7/1989 tentang Peradilan Agama, telah disahkan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 21 Februari 2006. Kelahiran Undang-Undang ini membawa pengaruh besar terhadap perundang-undangan yang mengatur harta benda, bisnis dan perdagangan secara luas. Pada UU No. 3 tahun 2006 pasal 49 point i disebutkan, bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang –orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah.
Amandemen ini membawa implikasi baru dalam sejarah hukum ekonomi Islam di Indonesia. Selama ini, wewenang untuk menangani perselisihan atau sengketa dalam bidang ekonomi syariah diselesaikan di Pengadilan Negeri yang notabene belum bisa dianggap sebagai hukum syari’ah. Dalam realitasnya, sebelum amandemen UU No 7/1989 ini, penegakkan hukum kontrak bisnis di lembaga-lembaga perekonomian Islam tersebut, mengacu pada ketentuan KUH Perdata.
Kehadiran KHES berdasarkan PERMA No 2 Tahun 2008 tanggal 10 September, layak diapresiasi dan direspon konstruktif dengan melakukan studi kritis terhadap materi yang ada di dalam KHES yang berisi 4 buku, 43 bab, 796 pasal. Buku I tentang Subyek Hukum dan Amwal (3 bab, 19 Pasal), Buku II tentang Akad (29 bab, 655 Pasal). Buku III tentang Zakat dan Hibah (4 bab, 60 Pasal), dan Buku IV tentang Akuntansi Syariah (7 bab, 62 Pasal).
Di antara beberapa hal yang perlu dikritisi adalah pertama, posisi KHES dalam konteks bangunan hukum nasional. Kedua, paradigma dan prinsip yang menjadi pijakan dalam perumusan KHES. Ketiga, pendekatan dan metode istinbat yang dilakukan tim KHES dalam melahirkan hukum ekonomi syari’ah. Keempat, hubungan KHES dengan undang-undang terkait. Kelima, kedudukan dan kewenangan Dewan Syari’ah Nasional (DSN) pasca lahirnya KHES. Keenam, apakah aturan-aturan hukum di dalam KHES memberikan ruang yang cukup luas bagi perkembangan ekonomi syariah atau malah sebaliknya akan membatasi ruang gerak ekonomi syariah.
hukum ekonomi Islam, secara umum belum dipraktikkan dan belum banyak yang menjadikan adat-istiadat umat Islam. Hukum ekonomi Islam secara kelembagaan hanya dipraktikkan lewat lembaga perekonomian yang secara hukum memang harus ada yang mengaturnya karena menyangkut hak-hak dan kepentingan banyak pihak dan dalam skala yang lebih besar. Sehingga perbedaan tersebut juga berimplikasi terhadap perbedaan proses positifisasinya.
Sehingga positifisasi tersebut berangkat dari gejala institusionalisasi hukum ekonomi Islam yang secara adat belum banyak dipraktikkan oleh seluruh umat Islam. Kalau melihat langsung pada praktiknya, justru masih banyak praktik ekonomi umat Islam yang masih menyimpang dari hukum Islam dan semakin mengkristal menjadi semacam kebiasaan. Bahkan lembaga-lembaga perekonomian Islam yang menjadi barisan terdepan dalam penegakan hukum ekonomi Islampun juga belum sepenuhnya mengaplikasikannya. Hal ini dapat dibuktikan dari beberapa hasil survei, ternyata bank-bank syari'ah pada umumnya, lebih banyak menerapkan murabahah sebagai metode pembiayaan mereka yang utama, meliputi kurang lebih tujuh puluh lima persen (75%) dari total pembiayaan mereka. Sementara itu, hasil penelitian di BMI Semarang pada tahun 1999, sekitar tujuh puluh delapan persen (78%) dari total pembiayaannya adalah pembiayaan murabahah. Padahal, sebenarnya bank syari'ah memiliki produk unggulan, yang berbasis profit and loss sharing (PLS), yaitu mudharabah dan musyarakah.
aplikasi hukum Islam dalam praktik ekonomi Islam di Indonesia belakangan ini, menurut amatan penulis, penyusunan KHES nampak ’keburu-buru’, kurang banyak menggali aspek-aspek sosiologis umat Islam dan legal opinion di kalangan pakar, ulama, pesantren, dan akademisi. Yang dilibatkan hanya sebagain kecil saja, meskipun dalam konteks ini tidak bermaksud negatif. Lain halnya ketika penyusunan KHI sebelumnya yang banyak melibatkan para ulama (kiai), pesantren, akademisi fakultas syari’ah beberapa IAIN ternama di Indonesia, dan praktisi.Aplikasi hukum Islam dalam praktik ekonomi Islam di Indonesia lainnya adalah penyusunan fatwa DSN MUI. Para praktisi ekonomi Islam, masyarakat dan pemerintah (regulator) membutuhkan fatwa-fatwa dari MUI berkaitan dengan praktik dan produk lembaga perekonomian Islam. Perkembangan lembaga tersebut yang demikian cepat harus diimbangi dengan fatwa-fatwa hukum Islam yang valid dan akurat, agar seluruh produknya memiliki landasan yang kuat secara syari’ah. Untuk itulah Dewan Syari’ah Nasional (DSN) dilahirkan pada tahun 1999 sebagai bagian dari Majlis Ulama Indonesia.
Perkembangan praktik ekonomi Islam di Indonesia saat ini, mengalami akselerasi yang luarbiasa. Selanjutnya berturut-turut telah hadir beberapa Undang-undang yang mengatur lembaga perekonomian Islam di Indonesia, sebagai bentuk dukungan pemerintah terhadap kemajuan tersebut. Selain itu, juga berimplikasi terhadap aplikasi hukum Islam dalam operasional dan inovasi produk pada lembaga perekonomian Islam dan kemungkinan terjadinya penyelesaian sengketa ekonomi syariah oleh Pengadilan Agama. Dalam kerangka itulah hadir Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yang memberikan terobosan baru dalam sejarah pemikiran hukum ekonomi Islam di Indonesia. Di samping itu, para praktisi ekonomi Islam, masyarakat dan pemerintah (regulator) membutuhkan fatwa-fatwa DSN MUI berkaitan dengan praktik dan produk lembaga perekonomian Islam.
sumber : http://master.islamic.uii.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=52&Itemid=59
Tidak ada komentar:
Posting Komentar