Dalam syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian telah diterangkan bahwa , apabila suatu syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjiannya adalah batal demi hukum ( null and void ). Dalam hal yang demikian maka secara yuridis dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian itu. Tujuan para pihak untuk meletakkan pihak yang satu menuntut pihak yang lain di muka hakim, karena dasar-dasar hukumnya ada suatu perjanjian atau perikatran.
Apabila, pada waktu pembuatan perjanjian, ada kekurangan mengenai syarat yang subyektif, maka sebagaimana sudut kita lihat, perjanjian itu bukannya batal demi hukum ,tetapi dapat dimintakan pembatalanya ( canceling ) oleh salah satu pihak. Pihak ini adalah : pihak yang tidak cakap menurut hukum ( yang meminta : orangtua atau walinya, ataupun ia sendiri apabila ia sudah menjadi cakap ), dan pihak yang memberikan perjanjian atau menyetujui itu secara tidak bebas.
Persetujuan kedua belah pihak yang merupakan sepakat itu harus diberikan secara bebas. Dalam hukum perjanjian ada tiga sebab yang membuat perijinan tadi tidak bebas, yaitu : paksaan, kekhilafan dan penipuan.
Yang dimaksud dengan pemaksaan adalah pemaksaan rohani atau jiwa, jadi bukan paksaan badan atau phisik. Misalnya salah satu pihak karena diancam atau ditakut-takuti terpaksa menyetujui suatu perjanjian.
Kekhilafan atau kekeliruan terjadi, apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi objek perjanjian, ataupun tentang mengenai seseorang dengan siapa diadakan perjanjian itu, kekhilafan tersebut harus sedemikian rupa, hingga, seandainya orang itu tidak khilaf mengenai hal-hal tersebut, ia tidak akan memberikan persetujuannya.
Penipuan terjadi, apabila suatu pihak dengan sengaja memberikan keterangan – keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan akal-akalan yang serdik , untuk membujuk pihak lawannya memberikan, perjanjiannya. Pihak yang menipu itu bertindak secara aktif untuk menjerumuskan pihak lawannya. Misalnya mobil yang ditawarkan diganti dulu mereknya, nomor mesinnya dipalsukan dan lain sebagainya. Menurut yurisprudensi maka tak cukuplah kalau orang itu hanya melakukan kebohongan mengenai sesuatu hal saja, paling sedikit harus ada suatu “ rangkaian kebohongan” atau suatu perbuatan yang dinamakan “ tipu – muslihat ”, seperti yang dilakukan oleh si penjual mobil tersebut di atas.
Terhadap azas konsensualitas yang dilakukan oleh pasal 1320 kitab undang-undang hukum perdata, ada kekecualiannya, yaitu di sana-sini oleh undang-undang ditetapkan suatu formalitas untuk beberapa macam perjanjian, misalnya : perjanjian penghibahan benda tak bergerak harus dilakukan dengan akte notaries, perjanjian prdamaian harus dibuat secara tertulis dan lain sebagainya. Perjanjian – perjanjian untuk mana ditetapkan seseuatu formalitas atau bentuk cara tertentu itu sebagaimana sudah kita lihat, dinmakan perjanjian formil. Apabila perjanjian yang demikian itu tidak memenuhi formalitas byang ditetapkan oleh undang-undang , maka ia adalah batal demi hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar