Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
A. Pengertian Antimonopoli dan Persaingan Usaha
“Antitrust” untuk pengertian yang sepadan dengan istilah “anti monopoli” atau istilah “dominasi” yang dipakai masyarakat Eropa yang artinya juga sepadan dengan arti istlah “monopoli” Disamping itu terdapat istilah yang artinya hampir sama yaitu “kekuatan pasar”. Dalam praktek keempat kata tersebut, yaitu istilah “monopoli”, “antitrust”, “kekuatan pasar” dan istilah “dominasi” saling dipertukarkan pemakaiannya. Keempat istilah tersebut dipergunakan untuk menunjukkan suatu keadaan dimana seseorang menguasai pasar ,dimana dipasar tersebut tidak tersedia lagi produk subtitusi yang potensial, dan terdapatnya kemampuan pelaku pasar tersebut untuk menerapkan harga produk tersebut yang lebih tinggi, tanpa mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum tentang permintaan dan penawaran pasar.
B. Asas dan Tujuan Antimonopoli dan Persaingan Usaha
Asas
Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
Tujuan
Undang-Undang (UU) persaingan usaha adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999) yang bertujuan untuk memelihara pasar kompetitif dari pengaruh kesepakatan dan konspirasi yang cenderung mengurangi dan atau menghilangkan persaingan. Kepedulian utama dari UU persaingan usaha adalah promoting competition dan memperkuat kedaulatan konsumen.
C. Kegiatan yang dilarang dalan antimonopoly
Kegiatan yang dilarang berposisi dominan menurut pasal 33 ayat 2.Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. Menurut pasal 33 ayat 2 “ Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Jadi, sektor-sektor ekonomi seperti air, listrik, telekomunikasi, kekayaan alam dikuasai negara tidak boleh dikuasai swasta sepenuhnya .
D. Perjanjian yang dilarang dalam Antimonopoli dan Persaingan Usaha
Perjanjian yang dilarang dalam UU No.5/1999 tersebut adalah perjanjian dalam bentuk sebgai berikut :
(a) Oligopoli
(b) Penetapan harga
(c) Pembagian wilayah
(d) Pemboikotan
(e) Kartel
(f) Trust
(g) Oligopsoni
(h) Integrasi vertikal
(i) Perjanjian tertutup
(j) Perjanjian dengan pihak luar neger
Perjanjian yang dilarang penggabungan, peleburan, dan pengambil-alihan :
– Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan/Badan Usaha atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan/Badan Usaha lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasivadari Perseroan/Badan Usaha yang menggabungkan beralih karena hukum kepadaPerseroan/Badan Usaha yang menerima Penggabungan dan selanjutnya Perseroan/Badan Usaha yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.
– Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan/Badan Usaha atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Perseroan/Badan Usaha baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Perseroan/Badan Usaha yang meleburkan diri dan Perseroan/Badan Usaha yang meleburkan diri berakhir karena hukum.
– Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha untuk memperoleh atau mendapatkan baik seluruh atau sebagian saham dan atau aset Perseroan/Badan Usaha. yang dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap Perseroan/Badan Usaha tersebut .
E. Hal-hal yang Dikecualikan dalam Monopoli
Hal-hal yang dilarang oleh Undang-Undang Anti Monopoli adalah sebagai berikut :
1. Perjanjian-perjanjian tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar, yang terdiri dari :
(a) Oligopoli
(b) Penetapan harga
(c) Pembagian wilayah
(d) Pemboikotan
(e) Kartel
(f) Trust
(g) Oligopsoni
(h) Integrasi vertikal
(i) Perjanjian tertutup
(j) Perjanjian dengan pihak luar negeri
2. Kegiatan-kegiatan tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar,
yang meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
(a) Monopoli
(b) Monopsoni
(c) Penguasaan pasar
(d) Persekongkolan
3. Posisi dominan, yang meliputi :
(a) Pencegahan konsumen untuk memperoleh barang atau jasa yang bersaing
(b) Pembatasan pasar dan pengembangan teknologi
(c) Menghambat pesaing untuk bisa masuk pasar
(d) Jabatan rangkap
(e) Pemilikan saham
(f) Merger, akuisisi, konsolidasi
F. Komisi Pengawasan Persaingan Usaha
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
G. Sanksi dalam Antimonopoli dan Persaingan Usaha
Pasal 36 UU Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah melakukan penelitian, penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di pasal yang sama, KPPU juga berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar UU Anti Monopoli. Apa saja yang termasuk dalam sanksi administratif diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti Monopoli. Meski KPPU hanya diberikan kewenangan menjatuhkan sanksi administratif, UU Anti Monopoli juga mengatur mengenai sanksi pidana. Pasal 48 menyebutkan mengenai pidana pokok. Sementara pidana tambahan dijelaskan dalam Pasal 49.
Pasal 48
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-Undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 ( lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupialh), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
(3) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
Pasal 49
Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha; atau
b. larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
c. penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyjavascript:void(0)ebabkan timbulnva kerugian pada pihak lain.
Aturan ketentuan pidana di dalam UU Anti Monopoli menjadi aneh lantaran tidak menyebutkan secara tegas siapa yang berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan dalam konteks pidana.
Minggu, 10 April 2011
KONSILIASI
KONSILIASI
Adalah usaha mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan penyelesaian. Namun, undang-undang nomor 30 tahun 1999 tidak memberikan suatu rumusan yang eksplisit atas pengertian dari konsiliasi. Akan tetapi, rumusan itu dapat ditemukan dalam pasal 1 angka 10 dan alinea 9 penjelasan umum, yakni konsiliasi merupakan salah satu lembaga untuk menyelesaikan sengketa.
Sementara itu , mengenai konsiliasi disebutkan di dalam buku Black’s Law Dictionary,
Conciliation is the adjustment and settlement of a dispute in a friendly, unantagonistic manner used in courts trial with a view to wards avoiding trial and in labor dispute before arbitrarion. Court of conciliation is a court with propose terms of adjustments, so as to avoid litigation.
Namun, apa yang disebutkan dalam Black’s Law Dictionary pada prinsipnya konsiliasi merupakan perdamaian sebelum siding peradilan.
Dalam menyelesaikan perselisihan, konsiliator memiliki hak dan kewenangan untuk menyampaikan pendapat secara terbuka dan tidak memihak kepada yang bersengketa. Selain itu, konsiliator tidak berhak untuk membuat keputusan dalam sengketa untuk dan atas nama para pihak sehingga keputusan akhir merupakan proses konsiliasi yang diambil sepenuhnya oleh para pihak dalam sengketa yang dituangkan dalam bentuk kesepakatan di anatar mereka.
Referensi :
• Grasindo, Elsi Kartika Sari, Advendi Simanunsong, “ hukum dalam ekonomi ”
• Neltje F. Katuuk “ aspek hukum dalam bisnis ”
Adalah usaha mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan penyelesaian. Namun, undang-undang nomor 30 tahun 1999 tidak memberikan suatu rumusan yang eksplisit atas pengertian dari konsiliasi. Akan tetapi, rumusan itu dapat ditemukan dalam pasal 1 angka 10 dan alinea 9 penjelasan umum, yakni konsiliasi merupakan salah satu lembaga untuk menyelesaikan sengketa.
Sementara itu , mengenai konsiliasi disebutkan di dalam buku Black’s Law Dictionary,
Conciliation is the adjustment and settlement of a dispute in a friendly, unantagonistic manner used in courts trial with a view to wards avoiding trial and in labor dispute before arbitrarion. Court of conciliation is a court with propose terms of adjustments, so as to avoid litigation.
Namun, apa yang disebutkan dalam Black’s Law Dictionary pada prinsipnya konsiliasi merupakan perdamaian sebelum siding peradilan.
Dalam menyelesaikan perselisihan, konsiliator memiliki hak dan kewenangan untuk menyampaikan pendapat secara terbuka dan tidak memihak kepada yang bersengketa. Selain itu, konsiliator tidak berhak untuk membuat keputusan dalam sengketa untuk dan atas nama para pihak sehingga keputusan akhir merupakan proses konsiliasi yang diambil sepenuhnya oleh para pihak dalam sengketa yang dituangkan dalam bentuk kesepakatan di anatar mereka.
Referensi :
• Grasindo, Elsi Kartika Sari, Advendi Simanunsong, “ hukum dalam ekonomi ”
• Neltje F. Katuuk “ aspek hukum dalam bisnis ”
MEDIASI
MEDIASI
Adalah proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasihat. Juga, terdapat beberapadefinisi mengenai mediasi menurut Nolah Haley antara lain , “ a short term structured task oriented , partipatory invention process. Disputing parties work with a neutral third party, the mediator, to reach a mutually acceptable agreement ”, sedangkan Kovach mendefinisikan mediasi, “ facilitated negotiation it process by which a neutral third party, the mediator, assist disputing parties in reaching a mutually satisfaction solution ”.
Dengan demikian, dalam hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa mediasi merupakan salah satu bentuk negosiasi antara para pihak yang bersengketa dan melibatkan pihak ketiga dengan tujuan membantu demi tercapainya penyelesaian yang bersifat kompromistis.
Sementara itu, pihak ke tiga yang ditunjuk membantu menyelesaikan sengketa dinamakan sebgai mediator.
Dengan demikia, tugas mediator sebagai fasilitator untuk membantu dan merumuskan persamaan pendapat, eperti :
1. sebagai tugas utama adalah bertindak sebagai seorangt fasilitator sehingga terjadi pertukaran informasi yang dapat dilaksanakan.
2. menemukan dan merumuskan titik-titik persamaan dari argumentasi para pihak dan berupaya untuk mengurangi perbedaan yang timbul sehingga mengarahkan kepada satu keputusan bersama.
Jika dengan cara mediasi tidak menghasilkan suatu putusan di antara para pihak maka tiap-tiap pihak boleh menempuh cara penyelesaian lain, seperti melalui pengadilan, arbitrase, atau lain-lain.
Adalah proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasihat. Juga, terdapat beberapadefinisi mengenai mediasi menurut Nolah Haley antara lain , “ a short term structured task oriented , partipatory invention process. Disputing parties work with a neutral third party, the mediator, to reach a mutually acceptable agreement ”, sedangkan Kovach mendefinisikan mediasi, “ facilitated negotiation it process by which a neutral third party, the mediator, assist disputing parties in reaching a mutually satisfaction solution ”.
Dengan demikian, dalam hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa mediasi merupakan salah satu bentuk negosiasi antara para pihak yang bersengketa dan melibatkan pihak ketiga dengan tujuan membantu demi tercapainya penyelesaian yang bersifat kompromistis.
Sementara itu, pihak ke tiga yang ditunjuk membantu menyelesaikan sengketa dinamakan sebgai mediator.
Dengan demikia, tugas mediator sebagai fasilitator untuk membantu dan merumuskan persamaan pendapat, eperti :
1. sebagai tugas utama adalah bertindak sebagai seorangt fasilitator sehingga terjadi pertukaran informasi yang dapat dilaksanakan.
2. menemukan dan merumuskan titik-titik persamaan dari argumentasi para pihak dan berupaya untuk mengurangi perbedaan yang timbul sehingga mengarahkan kepada satu keputusan bersama.
Jika dengan cara mediasi tidak menghasilkan suatu putusan di antara para pihak maka tiap-tiap pihak boleh menempuh cara penyelesaian lain, seperti melalui pengadilan, arbitrase, atau lain-lain.
NEGOSIASI ( NEGOTIATION )
NEGOSIASI ( NEGOTIATION )
Negosiasi adalah proses tawar - menawar dengan jalan berunding guna mencapai kesepakatan bersama antara satu pihak dan pihak lain. Negosiasi juga diartikan suatu cara penyelesaian sengketa secara damai melalui perundingan antara pihak yang berperkara.
Negosiasi merupakan komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saaat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun yang berbeda. Oleh karena itu, negosiasi merupakan sarana bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk mendiskusikan penyelesaiannya tanpa melibatkan pihak ketiga sebagai penengah, baik yang tidak berwenang mengambil keputusan.
Sementara itu, yang harus diperhatikan bagi para pihak yang melakukan perundingan secara negosiasi harus mempunyai itikad baik untuk menyelesaikan dengan damai.
Namun, penyelesaian sengketa ynag dilakukan melalui pihak ketiga dapat terjadi dengan cara, anatar lain mediasi dan arbitrase.
Negosiasi adalah proses tawar - menawar dengan jalan berunding guna mencapai kesepakatan bersama antara satu pihak dan pihak lain. Negosiasi juga diartikan suatu cara penyelesaian sengketa secara damai melalui perundingan antara pihak yang berperkara.
Negosiasi merupakan komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saaat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun yang berbeda. Oleh karena itu, negosiasi merupakan sarana bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk mendiskusikan penyelesaiannya tanpa melibatkan pihak ketiga sebagai penengah, baik yang tidak berwenang mengambil keputusan.
Sementara itu, yang harus diperhatikan bagi para pihak yang melakukan perundingan secara negosiasi harus mempunyai itikad baik untuk menyelesaikan dengan damai.
Namun, penyelesaian sengketa ynag dilakukan melalui pihak ketiga dapat terjadi dengan cara, anatar lain mediasi dan arbitrase.
CARA – CARA PENYELESAIAN SENGKETA
CARA – CARA PENYELESAIAN SENGKETA
Di dalam penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan berbagai bentuk, antara lain negosiasi ( negotiation ), melalui pihak ketiga, mediasi, konsiliasi, arbitrase, peradilan, dan peradilan umum.
Di dalam penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan berbagai bentuk, antara lain negosiasi ( negotiation ), melalui pihak ketiga, mediasi, konsiliasi, arbitrase, peradilan, dan peradilan umum.
PENYELESAIAN SENGKETA
PENYELESAIAN SENGKETA
Pada umumnya, di bagian akhir suatu perjanjian dicantumkan suatu klausula yang dapat menentukan penyelesaian sengketa. Klausula itu, misalnya, “ apabila terjadi perselisihan atau sengketa sebagai akibat dari perjanjian tersebut maka para pihak akahn memilih penyelesaian sengketa yang terbaik bagi mereka ”.
Namun sengketa itu terjadi dimulai dari suatu situasi di mana satu pihak merasa dirugikan oleh pihak lain. Perasaan tidak puas akan segera muncul ke permukaan apabila terjadi conflict of interest.
Sementara itu, pihak yang merasa dirugikan akan menyampaikan ketidakpuasannya kepasa pihak kedua, apabila pihak kedua dapat menanggapi dan memberi perasaan puas kepada pihak pertama maka selesailah konflik tersebut.
Pada umumnya , di dalam kehidupan suatu masyarakat telah mempunyai cara untuk menyelesaikan konflik atau sengketa sendiri, yakni proses penyelesaian sengketa yang ditempuh dapat melalui cara-cara formal maupun informal.
Penyelesaian sengketa secara formal berkembang menjadi proses adjudikasi yang terdiri atas proses melalui pengadilan ( litigasi ) dan arbitrase, serta proses penyelesaian – penyelesaian konflik secara informal yang berbasis pada kesepakatan pihak-pihak yang bersengketa melalaui negosiasi, mediasi.
Pada umumnya, di bagian akhir suatu perjanjian dicantumkan suatu klausula yang dapat menentukan penyelesaian sengketa. Klausula itu, misalnya, “ apabila terjadi perselisihan atau sengketa sebagai akibat dari perjanjian tersebut maka para pihak akahn memilih penyelesaian sengketa yang terbaik bagi mereka ”.
Namun sengketa itu terjadi dimulai dari suatu situasi di mana satu pihak merasa dirugikan oleh pihak lain. Perasaan tidak puas akan segera muncul ke permukaan apabila terjadi conflict of interest.
Sementara itu, pihak yang merasa dirugikan akan menyampaikan ketidakpuasannya kepasa pihak kedua, apabila pihak kedua dapat menanggapi dan memberi perasaan puas kepada pihak pertama maka selesailah konflik tersebut.
Pada umumnya , di dalam kehidupan suatu masyarakat telah mempunyai cara untuk menyelesaikan konflik atau sengketa sendiri, yakni proses penyelesaian sengketa yang ditempuh dapat melalui cara-cara formal maupun informal.
Penyelesaian sengketa secara formal berkembang menjadi proses adjudikasi yang terdiri atas proses melalui pengadilan ( litigasi ) dan arbitrase, serta proses penyelesaian – penyelesaian konflik secara informal yang berbasis pada kesepakatan pihak-pihak yang bersengketa melalaui negosiasi, mediasi.
ASAS DAN TUJUAN ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN TIDAK SEHAT
ASAS DAN TUJUAN
ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN TIDAK SEHAT
Dalam melakukan kegiatan usaha di Indonesia , pelaku usaha harus berasakan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
Dengan demikian, tujuan undang-undang nomor 5 tahun 1999 adalah sebagai berikut :
1. menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
2. mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan uasah yangs ehat sehingga menjamin adanya kepastian kesepakatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha bear, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil.
3. mencegah praktik monopoli atau dalam persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku uasah ;
4. terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN TIDAK SEHAT
Dalam melakukan kegiatan usaha di Indonesia , pelaku usaha harus berasakan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
Dengan demikian, tujuan undang-undang nomor 5 tahun 1999 adalah sebagai berikut :
1. menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
2. mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan uasah yangs ehat sehingga menjamin adanya kepastian kesepakatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha bear, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil.
3. mencegah praktik monopoli atau dalam persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku uasah ;
4. terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
SANKSI
SANKSI
Sanksi yang diberikan oleh undang – undang nomor 8 tahun 1999, yang tertulis dalam pasal 60 sampai dengan pasal 63 dapat berupa sanksi administrative, dan sanksi pidana pokok, serta tambahan berupa perampas barang tertentu, pengumuman keputusan hakim, pembayaran ganti rugi, perintah penghentiaan kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen, kewajiban penarikan barang dari peredaran, atau pencabuatn izin usaha.
Sanksi yang diberikan oleh undang – undang nomor 8 tahun 1999, yang tertulis dalam pasal 60 sampai dengan pasal 63 dapat berupa sanksi administrative, dan sanksi pidana pokok, serta tambahan berupa perampas barang tertentu, pengumuman keputusan hakim, pembayaran ganti rugi, perintah penghentiaan kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen, kewajiban penarikan barang dari peredaran, atau pencabuatn izin usaha.
TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA
TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA
Setiap pelaku usaha harus bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan atau diperdagangkan. Tanggung jawab produk timbul dikarenakan kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat dari “ produk yang cacat “, bisa dikarenakan kekurang cermatan dalam memproduksi, tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar janji atau melakukan perbuatan melawan hukum.
Di dalam undang-undang nomor 8 tahun 1999 diatur psal 19 sampai dengan pasal 28. di dalam pasal 19 mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap produk yang dihasilkan atau diperdagangkan dengan memberi ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran, kerusakan, kerugian konsumen.
Sementara itu, pasal 20 dan pasal 21 mengatur beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian, sedangkan pasal 22 menentukan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsure kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana telah diatur dalam pasal 19
Di dalam pasal 27 disebut hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yand diderita konsumen, apabila :
1. barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksud untuk diedarkan ;
2. cacat barabg timbul pada kemudian hari;
3. cacat timul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang ;
4. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen ;
5. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan.
Setiap pelaku usaha harus bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan atau diperdagangkan. Tanggung jawab produk timbul dikarenakan kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat dari “ produk yang cacat “, bisa dikarenakan kekurang cermatan dalam memproduksi, tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar janji atau melakukan perbuatan melawan hukum.
Di dalam undang-undang nomor 8 tahun 1999 diatur psal 19 sampai dengan pasal 28. di dalam pasal 19 mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap produk yang dihasilkan atau diperdagangkan dengan memberi ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran, kerusakan, kerugian konsumen.
Sementara itu, pasal 20 dan pasal 21 mengatur beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian, sedangkan pasal 22 menentukan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsure kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana telah diatur dalam pasal 19
Di dalam pasal 27 disebut hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yand diderita konsumen, apabila :
1. barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksud untuk diedarkan ;
2. cacat barabg timbul pada kemudian hari;
3. cacat timul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang ;
4. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen ;
5. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan.
KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN
KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN
Di dalam pasal 18 undang-undang nomor 8 tahun 1999, pelaku usaha dalam menawarkan barang dan jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantunkan klausula baku pada setiap dokumen atau perjanjian, antara lain :
1. menyatakan pengalihan tanggungn jawab pelaku usaha .
2. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen.
3. pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang di beli konsumen.
4. pemberian klausa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli konsumen secara angsuran
5. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau manfaat jasa yang dibeli oleh konsumen.
6. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa.
Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara terlihat atau tidak dapat dibaca seacra jelas atau yang pengungkapannya sulit dimengerti sebagai konsekuensinya setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha dalam dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana di atas telah dinaytakan batal demi hukum. Oleh karena itu , pelaku usaha diwajibkan untuk menyesuaikan klausula baku yang dibuatnya yang bertentangan dengan undang-undang.
Di dalam pasal 18 undang-undang nomor 8 tahun 1999, pelaku usaha dalam menawarkan barang dan jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantunkan klausula baku pada setiap dokumen atau perjanjian, antara lain :
1. menyatakan pengalihan tanggungn jawab pelaku usaha .
2. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen.
3. pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang di beli konsumen.
4. pemberian klausa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli konsumen secara angsuran
5. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau manfaat jasa yang dibeli oleh konsumen.
6. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa.
Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara terlihat atau tidak dapat dibaca seacra jelas atau yang pengungkapannya sulit dimengerti sebagai konsekuensinya setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha dalam dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana di atas telah dinaytakan batal demi hukum. Oleh karena itu , pelaku usaha diwajibkan untuk menyesuaikan klausula baku yang dibuatnya yang bertentangan dengan undang-undang.
PERBUATAN YANG DILARANG BAGI PELAKU USAHA
PERBUATAN YANG DILARANG BAGI PELAKU USAHA
Dalam pasal 8 sampai dengan pasal 17 undang-undang nomor 8 tahun 1999, mengatur perbuatan hukum yang dilarang bagi pelaku usaha larangan dalam memproduksi atau memperdagangkan, larangan dalam menawarkan , larangan-larangan dalam penjualan secara obral / lelang , dan dimanfaatkan dalam ketentuan periklanan .
1. larangan dalam memproduksi / memperdagangkan.
Pelaku usaha dilarang memproduksi atau memperdagangkan barang atau jasa, misalnya :
• tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan ;
• tidak sesuai dengan berat isi bersih atau neto;
• tidak sesuai dengan ukuran , takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
• tidak sesuai denga kondisi, jaminan, keistimewaan sebagaimana dinyatakan dalam label, etika , atau keterangan barang atau jasa tersebut;
• tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label;
• tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal;
• tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat barang, ukuran , berat isi atau neto
2. larangan dalam menawarkan / memproduksi
pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan suatu barang atau jasa secara tidak benar atau seolah-olah .
• barang tersebut telah memenuhi atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu.
• Barang tersebut dalam keadaan baik/baru;
• Barang atau jasa tersebut telah mendapat atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu.
• Dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan, atau afiliasi.
• Barang atau jasa tersebut tersedia.
• Tidak mengandung cacat tersembunyi.
• Kelengkapan dari barang tertentu.
• Berasal dari daerah tertentu.
• Secara langsun g atau tidak merendahkan barang atau jasa lain.
• Menggunakan kata-kata yang berlebihan seperti aman, tidak berbahaya , atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap.
• Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
3. larangan dalam penjualan secara obral / lelang
Pelaku usaha dalam penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang , dilarang mengelabui / menyesatkan konsumen, antara lain :
• menyatakan barang atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar tertentu.
• Tidak mengandung cacat tersembunyi.
• Tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud menjual barang lain.
• Tidak menyedian barang dalam jumlah tertentu atau jumlah cukup dengan maksud menjual barang yang lain.
4. larangan dalam periklanan
Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan , misalnya :
• mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan, dan harga mengenai atau tarif jasa, serta ketepatan waktu penerimaan barang jasa.
• Mengelabui jaminan / garansi terhadap barang atau jasa.
• Memuat informasi yang keliru, salah atau tidak tepat mengenai barang atau jasa.
• Tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang atau jasa.
• Mengeksploitasi kejadian atau seseorang tanpa seizing yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan.
• Melanggar etika atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.
Dalam pasal 8 sampai dengan pasal 17 undang-undang nomor 8 tahun 1999, mengatur perbuatan hukum yang dilarang bagi pelaku usaha larangan dalam memproduksi atau memperdagangkan, larangan dalam menawarkan , larangan-larangan dalam penjualan secara obral / lelang , dan dimanfaatkan dalam ketentuan periklanan .
1. larangan dalam memproduksi / memperdagangkan.
Pelaku usaha dilarang memproduksi atau memperdagangkan barang atau jasa, misalnya :
• tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan ;
• tidak sesuai dengan berat isi bersih atau neto;
• tidak sesuai dengan ukuran , takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
• tidak sesuai denga kondisi, jaminan, keistimewaan sebagaimana dinyatakan dalam label, etika , atau keterangan barang atau jasa tersebut;
• tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label;
• tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal;
• tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat barang, ukuran , berat isi atau neto
2. larangan dalam menawarkan / memproduksi
pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan suatu barang atau jasa secara tidak benar atau seolah-olah .
• barang tersebut telah memenuhi atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu.
• Barang tersebut dalam keadaan baik/baru;
• Barang atau jasa tersebut telah mendapat atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu.
• Dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan, atau afiliasi.
• Barang atau jasa tersebut tersedia.
• Tidak mengandung cacat tersembunyi.
• Kelengkapan dari barang tertentu.
• Berasal dari daerah tertentu.
• Secara langsun g atau tidak merendahkan barang atau jasa lain.
• Menggunakan kata-kata yang berlebihan seperti aman, tidak berbahaya , atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap.
• Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
3. larangan dalam penjualan secara obral / lelang
Pelaku usaha dalam penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang , dilarang mengelabui / menyesatkan konsumen, antara lain :
• menyatakan barang atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar tertentu.
• Tidak mengandung cacat tersembunyi.
• Tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud menjual barang lain.
• Tidak menyedian barang dalam jumlah tertentu atau jumlah cukup dengan maksud menjual barang yang lain.
4. larangan dalam periklanan
Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan , misalnya :
• mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan, dan harga mengenai atau tarif jasa, serta ketepatan waktu penerimaan barang jasa.
• Mengelabui jaminan / garansi terhadap barang atau jasa.
• Memuat informasi yang keliru, salah atau tidak tepat mengenai barang atau jasa.
• Tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang atau jasa.
• Mengeksploitasi kejadian atau seseorang tanpa seizing yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan.
• Melanggar etika atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.
HAK DAN KEWAJIBAN PELAKU USAHA
Berdasarkan pasal 6 dan 7 undang-undang no 8 tahun 1999 hak dan kewajiban pelaku usaha adalah sebagai berikut :
1. hak pelaku usaha
• hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang atau jasa yang diperdagangkan.
• Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.
• Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukun sengketa konsumen.
• Hak untuk rehabilitas nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang atau jasa yang diperdagangkan.
• Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
2. kewajiban pelaku usaha
• bertikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
• Melakukan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaika, dan pemeliharaan.
• Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif ; pelaku usaha dilarang membeda-bedakan konsumen dalam memberikan pelayanan; pelaku usaha dilarang membeda-bedakan mutu pelayanan kepada konsumen.
• Menjamin mutu barang atau jasa yang diproduksi atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang atau jasa yang berlaku.
• Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji atau mencoba barang atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan garansi .
• Memberi kompensasi , ganti rugi atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan manfaat barang atau jasa yang diperdagangkan.
• Memberi kompensasi ganti rugi atau penggantian apabila berang atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
1. hak pelaku usaha
• hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang atau jasa yang diperdagangkan.
• Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.
• Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukun sengketa konsumen.
• Hak untuk rehabilitas nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang atau jasa yang diperdagangkan.
• Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
2. kewajiban pelaku usaha
• bertikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
• Melakukan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaika, dan pemeliharaan.
• Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif ; pelaku usaha dilarang membeda-bedakan konsumen dalam memberikan pelayanan; pelaku usaha dilarang membeda-bedakan mutu pelayanan kepada konsumen.
• Menjamin mutu barang atau jasa yang diproduksi atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang atau jasa yang berlaku.
• Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji atau mencoba barang atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan garansi .
• Memberi kompensasi , ganti rugi atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan manfaat barang atau jasa yang diperdagangkan.
• Memberi kompensasi ganti rugi atau penggantian apabila berang atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN
HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN
Berdasarkan pasal 4 dan 5 undang-undang nomor 8 tahun 1999,hakdan kewajiban konsumen antara lain sebagai berikut.
1. hak konsumen
a. hak atas kenyamanan,keamanaan,dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa.
b. Hak untuk memilih barang atau jasa serta mendapatkan barang atau jasa.
c. Hak atas informasi yang benar,jelas dan jujur mengenai barang dan jasa
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan jasa yang digunakan
e. Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan konsumen dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan secara patut
f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen
g. Hak untuk diperlakukan secara benar dan jujur.
h. Hak untuk mendapatkan konpensasi,gantirugi atau penggantin apabila barang atau jasa yang diterima tidak sesuai.
i. Hak-hak yang diatur dalam peratuiran perundang-undangan lainnya.
2. kewajiban konsumen
a. membaca,mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian
b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang atau jasa.
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati
d. Mengikuti upaya penyesuaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut
Berdasarkan pasal 4 dan 5 undang-undang nomor 8 tahun 1999,hakdan kewajiban konsumen antara lain sebagai berikut.
1. hak konsumen
a. hak atas kenyamanan,keamanaan,dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa.
b. Hak untuk memilih barang atau jasa serta mendapatkan barang atau jasa.
c. Hak atas informasi yang benar,jelas dan jujur mengenai barang dan jasa
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan jasa yang digunakan
e. Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan konsumen dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan secara patut
f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen
g. Hak untuk diperlakukan secara benar dan jujur.
h. Hak untuk mendapatkan konpensasi,gantirugi atau penggantin apabila barang atau jasa yang diterima tidak sesuai.
i. Hak-hak yang diatur dalam peratuiran perundang-undangan lainnya.
2. kewajiban konsumen
a. membaca,mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian
b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang atau jasa.
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati
d. Mengikuti upaya penyesuaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut
KEGIATAN YANG DILARANG
Kegiatan yang dilarang dalam praktik bisnis adalah monopoli, monopsoni, penguasaan pasar, persekongkolan, posisi dominant, jabatan rangkap, pemilikan saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis.
1. monopoli
adalah situasi pengadaan barang dangangan tertentu ( di pasar local atau nasional ) sekurang-kurangnya sepertiga dikuasai oleh satu orang atau satu kelompok sehingga dapat di kendalikan.
2. monopsoni
adalah keadaan pasar yang tidak seimbang, yang dikuasai oleh seorang pembeli; oligopoly yang terbatas pada seorang pembeli .
3. penguasaan pasar
adalah proses , cara, atau perbuatan menguasai pasar. Dengan demikian , pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan pasar baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama pelaku usaha lainnya yang mengakibatkan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
4. persekongkolan
adalah berkomplot atau bersepakat melakukan kejahatan ( kecurigaan ).
5. posisi dominant
adalah pengaruh sangat kuat, dalam pasal 1 ayat 4 undang-undang nomor 5 tahun 1999 menyebutkan posisi dominant merupakan suatu keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa yang dikuasai atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di anatara persaingan di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan, penjualan, serta untuk menyesuaikan pasokan dan permintaan barang atau jasa tertentu.
6. jabatan rangkap
dalam pasal 26 undang-undang nomor 5 tahun 1999 dikatakan bahwa seseorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain, apabila perusahaan-perusahaan itu :
a. berada dalam pasar bersangkutan yang sama ;
b. memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang atau jenis usaha ;
c. secara bersama dapat menguasai pangsa pasar atau jasa tertentu yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
7. pemilikan saham
berdasarkan pasal 27 undang-undang nomor 5 tahun 1999 dikatakan bahwa pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis dan melakukan kegiatan usaha dalam bidang sama pada pasar bersangkutan yang sama atau mendirikan beberapa perusahaan yang sama apabila kepemilikan tersebut mengakibatkan , anatara lain :
a. satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa satu jenis barang atau jasa tertentu.
b. Dua atau tiga pelaku usaha, kelompok usaha, dan kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar atau jenis barang atau jasa tertentu.
8. pengangguran, peleburan, dan pengambilalihan
pasal 28 undang-undang nomor 5 tahun 1999, mengatakan bahwa pelaku usaha berbadan hukum maupun yang bukan berbadan hukum yang menjalankan perusahaan bersifat tetap bukan berbadan hukum yang menjalankan perusahaan bersifat tetap dan terus menerus denga tujuan mencari keuntungan.
1. monopoli
adalah situasi pengadaan barang dangangan tertentu ( di pasar local atau nasional ) sekurang-kurangnya sepertiga dikuasai oleh satu orang atau satu kelompok sehingga dapat di kendalikan.
2. monopsoni
adalah keadaan pasar yang tidak seimbang, yang dikuasai oleh seorang pembeli; oligopoly yang terbatas pada seorang pembeli .
3. penguasaan pasar
adalah proses , cara, atau perbuatan menguasai pasar. Dengan demikian , pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan pasar baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama pelaku usaha lainnya yang mengakibatkan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
4. persekongkolan
adalah berkomplot atau bersepakat melakukan kejahatan ( kecurigaan ).
5. posisi dominant
adalah pengaruh sangat kuat, dalam pasal 1 ayat 4 undang-undang nomor 5 tahun 1999 menyebutkan posisi dominant merupakan suatu keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa yang dikuasai atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di anatara persaingan di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan, penjualan, serta untuk menyesuaikan pasokan dan permintaan barang atau jasa tertentu.
6. jabatan rangkap
dalam pasal 26 undang-undang nomor 5 tahun 1999 dikatakan bahwa seseorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain, apabila perusahaan-perusahaan itu :
a. berada dalam pasar bersangkutan yang sama ;
b. memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang atau jenis usaha ;
c. secara bersama dapat menguasai pangsa pasar atau jasa tertentu yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
7. pemilikan saham
berdasarkan pasal 27 undang-undang nomor 5 tahun 1999 dikatakan bahwa pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis dan melakukan kegiatan usaha dalam bidang sama pada pasar bersangkutan yang sama atau mendirikan beberapa perusahaan yang sama apabila kepemilikan tersebut mengakibatkan , anatara lain :
a. satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa satu jenis barang atau jasa tertentu.
b. Dua atau tiga pelaku usaha, kelompok usaha, dan kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar atau jenis barang atau jasa tertentu.
8. pengangguran, peleburan, dan pengambilalihan
pasal 28 undang-undang nomor 5 tahun 1999, mengatakan bahwa pelaku usaha berbadan hukum maupun yang bukan berbadan hukum yang menjalankan perusahaan bersifat tetap bukan berbadan hukum yang menjalankan perusahaan bersifat tetap dan terus menerus denga tujuan mencari keuntungan.
ASAS DAN TUJUAN
Perlindungan konsumen diselenggarkan sebagai usaha bersama berdasarkan lima asas yang relevan dalam pembangunan nasional,yakni asas manfaat,asas keadilan,asas kseimbangan,asas keamanan,dan keselamatan konsumen.dan asas kepastian hukum.
1. asas manfaat
asas manfaat adalah segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2. asas keadilan
adalah memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3. asas keseimbangan
adalah memberika keseimbangan antara kepentingan konsumen,pelaku usaha,dan pemerintah dalam arti materiil maupun spiritual.
4. asas keamanan dan keselamtan konsumen
adalah untuk memberikan jaminan atas kemanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan,pemakaian,dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5. asas kepastian hukum
yakni baik pelaku maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen serta Negara menjamin kepastian hukum.
Sementara itu,tujuan perlindungan konsumen meliputi
1. meningkatkan kesadaran,kemampuan,dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri
2. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkan dari akses negative pemakaian barang dan/atau jasa.
3. meninbgkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,menentukan,dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
4. menetapkan system perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses akses untuk mendapatkan informasi.
5. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
6. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa,kesehatan,kenyamanan,keamanan,dan keselamatan konsumen.
1. asas manfaat
asas manfaat adalah segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2. asas keadilan
adalah memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3. asas keseimbangan
adalah memberika keseimbangan antara kepentingan konsumen,pelaku usaha,dan pemerintah dalam arti materiil maupun spiritual.
4. asas keamanan dan keselamtan konsumen
adalah untuk memberikan jaminan atas kemanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan,pemakaian,dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5. asas kepastian hukum
yakni baik pelaku maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen serta Negara menjamin kepastian hukum.
Sementara itu,tujuan perlindungan konsumen meliputi
1. meningkatkan kesadaran,kemampuan,dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri
2. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkan dari akses negative pemakaian barang dan/atau jasa.
3. meninbgkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,menentukan,dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
4. menetapkan system perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses akses untuk mendapatkan informasi.
5. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
6. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa,kesehatan,kenyamanan,keamanan,dan keselamatan konsumen.
PERLINDUNGAN KONSUMEN
Pengertian
Berdasarkan pasal 1 angka 2 undang-undang nomor 8 tahun 1999,konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,baik bagi kepntingan sendiri,keluarga,orang lain,maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Didalam perpustakan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara.konsumen akhir adalah pengunaan atau manfaatan akhir dari suatu produk,sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya.oleh karena itu,pengertian yang terdapat dalam undang-undang nomor 8 tahun1999 adalah konsumen akhir.
Pelaku usaha merupakan orang atau lembaga yantg berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia,baik sendiri maupun bersama-sama melalui pejajian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Dengan demikian,pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan korporasi,BUMN,koperasi,importir,pedagang,distributor,dan lain-lain.
Berdasarkan pasal 1 angka 2 undang-undang nomor 8 tahun 1999,konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,baik bagi kepntingan sendiri,keluarga,orang lain,maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Didalam perpustakan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara.konsumen akhir adalah pengunaan atau manfaatan akhir dari suatu produk,sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya.oleh karena itu,pengertian yang terdapat dalam undang-undang nomor 8 tahun1999 adalah konsumen akhir.
Pelaku usaha merupakan orang atau lembaga yantg berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia,baik sendiri maupun bersama-sama melalui pejajian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Dengan demikian,pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan korporasi,BUMN,koperasi,importir,pedagang,distributor,dan lain-lain.
JANGKA WAKTU
Jangka waktu perlindungan terhadap hak desain industri diberikan 10 tahun sejak tanggal penerimaan, dan tercatat dalam daftar umum desain industri dan diumumkan dalam berita resmi desain industri.
LINGKUP DESAIN INDUSTRI
Hak desain industri diberikan untuk desain industri yang baru. Desain industri dianggap baru apabila pada tanggal penerimaan desain industri tidak sama dengan penggunaan yang telah ada sebelumnya.
Hak desain industri tidak dapat diberikan apabila desain industri bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku, ketertiban umum, agama, atau kesusilaan.
Hak desain industri tidak dapat diberikan apabila desain industri bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku, ketertiban umum, agama, atau kesusilaan.
DESAIN INDUSTRI
Undang – undang nomor 31 tahun 2000 tentang Desain Industri. Desain Industri adalah suatu kreasi tentang bentuk konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan dari padanya yang berbentuk 3 dimensi atau 2 dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam 3 dimensi atau 2 dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri , atau kerajinan tangan.
Pendesain adalah seseorang atau beberapa orang yang menghasilkan desain industri, sedangkan yang dimaksud dengan hak desain industri adalah hak eksekutif yang diberikan oleh Negara kepada pendesain atas hasil kreasinya selama waktu tertentu dan melaksanakan sendiri atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakan hak tersebut.
Pendesain adalah seseorang atau beberapa orang yang menghasilkan desain industri, sedangkan yang dimaksud dengan hak desain industri adalah hak eksekutif yang diberikan oleh Negara kepada pendesain atas hasil kreasinya selama waktu tertentu dan melaksanakan sendiri atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakan hak tersebut.
PENDFAFTARAN MEREK
Setiap permohonan merek diajukan kepada Direktorat Jenderal Merek Departemen Kehakiman dan HAM dan setiap permohonan yang telah disetujui akan memperoleh sertifikat merek yang terdaftar dalam daftar umum merek.
MEREK YANG DITOLAK
Permohonan merek yang ditolak oleh Direktorat Jenderal Merek, antara lain.
1. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang atau jasa yang sejenis;
2. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang atau jasa sejenis;
3. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi-geografis yang sudah dikenal;
4. serupa atau mempunyai nama orang terkenal , foto atau nama badan hukum yang dimiliki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak;
5. merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera, lambing, symbol, emblem Negara, lambing nasional maupun internasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang;
6. merupakan tiruan , menyerupai, tanda, cap atau stempel resmi yang digunakan oleh Negara atau lambing pemerintah, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang.
1. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang atau jasa yang sejenis;
2. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang atau jasa sejenis;
3. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi-geografis yang sudah dikenal;
4. serupa atau mempunyai nama orang terkenal , foto atau nama badan hukum yang dimiliki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak;
5. merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera, lambing, symbol, emblem Negara, lambing nasional maupun internasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang;
6. merupakan tiruan , menyerupai, tanda, cap atau stempel resmi yang digunakan oleh Negara atau lambing pemerintah, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang.
MEREK – MEREK YANG TIDAK DAPAT DIDAFTARKAN
Apabila merek didasarkan atas permohonan dengan iktikad tidak baik maka mereka tidak dapat didaftarkan apabila mengandung salah satu unsure.
1. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku , meralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum;
2. tidak memiliki daya perbedaan;
3. telah menjadi milik umum ; atau
4. merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohon pendaftarannya.
1. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku , meralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum;
2. tidak memiliki daya perbedaan;
3. telah menjadi milik umum ; atau
4. merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohon pendaftarannya.
JENIS-JENIS MEREK
Jenis-jenis merek dapat dibagi menjadi merek dagang, merek jasa, dan merek kolektif.
1. merek dagang.
merek dagang merupakan merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenisnya.
2. merek jasa
adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya.
3. merek kolektif
adalah merek yang digunakan pada barang atau jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang atau hal sejenis lainnya.
1. merek dagang.
merek dagang merupakan merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenisnya.
2. merek jasa
adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya.
3. merek kolektif
adalah merek yang digunakan pada barang atau jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang atau hal sejenis lainnya.
HAK MEREK
Pengertian
Berdasarkan pasal 1 undang-undang nomor 15 tahun 2001 tentang merek, merek adalah tanda tyang berupa gambar, nama, kata , huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsure-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.
Berdasarkan pasal 1 undang-undang nomor 15 tahun 2001 tentang merek, merek adalah tanda tyang berupa gambar, nama, kata , huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsure-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.
PATEN SEDERHANA
Paten sederhana hanya diberikan untuk satu invensi, dicatat, dan diumumkan di Direktorat Jenderal sebagai bukti hak kepada pemegang hak sederhana diberikan sertifikat paten sederhana. selain itu, paten sederhana tidak dapat dimintakan lisensi wajib.
PERMOHONAN PATEN
Paten diberikan atas dasar permohonan. Setiap permohonan hanya dapat diajukan untuk satu invensi atau beberapa invensi yang merupakan satu kesatuan invensi.
Dengan demikian , permohonan paten diajukan dengan membayar biaya kepada Direktorat Jenderal Hak Paten Departemen Kehakiman dan HAM untuk memperoleh sertifikat paten sebagai bukti hak atas paten. Dengan demikian , paten mulai berlaku pada tanggal diberikan sertifikat paten dan berlaku surat sejak tanggal penerimaan.
Namun, permohonan dapat berubah dari paten menjadi paten sederhana. Sebaliknya, perubahan ini dilakukan oleh pemohon dengan tetap memperhatikan ketentuan dalam perundang-undangan.
Dengan demikian , permohonan paten diajukan dengan membayar biaya kepada Direktorat Jenderal Hak Paten Departemen Kehakiman dan HAM untuk memperoleh sertifikat paten sebagai bukti hak atas paten. Dengan demikian , paten mulai berlaku pada tanggal diberikan sertifikat paten dan berlaku surat sejak tanggal penerimaan.
Namun, permohonan dapat berubah dari paten menjadi paten sederhana. Sebaliknya, perubahan ini dilakukan oleh pemohon dengan tetap memperhatikan ketentuan dalam perundang-undangan.
JANGKA WAKTU PATEN
Berdasarkan pasal 8 undang-undang nomor 14 tahun 2001 tentang paten, paten diberikan untuk jangka waktu selama 20 tahun, terhitung sejak tanggal penerimaan dan jangka waktu itu tidak dapat diperpanjang, sedangkan untuk paten sederhana diberikan jangka waktu 10 tahun, terhitung sejak tanggal penerimaan dan jangka waktu tidak dapat diperpanjang. Oleh karena itu, tanggal dimulai dan berakhirnya jangka waktu paten dicatat dan diumumkan
HAK PATEN
Pengertian
Dalam pasal 1 butir 1 undang-undang nomor 14 tahun 2001 tentang Paten. Paten merupakan hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada investor atas hasil invetasi di bidang teknologi untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri investasinya atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakan.
Dengan demikian, invensi adalah ide inventor yang dituangkan ke dalam suatau kegiatan pemecahan masalah yang spesifik dibidang teknologi, dapat berupa produk atau proses atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses.
Dalam pasal 1 butir 1 undang-undang nomor 14 tahun 2001 tentang Paten. Paten merupakan hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada investor atas hasil invetasi di bidang teknologi untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri investasinya atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakan.
Dengan demikian, invensi adalah ide inventor yang dituangkan ke dalam suatau kegiatan pemecahan masalah yang spesifik dibidang teknologi, dapat berupa produk atau proses atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses.
SAAT DAN LAHIRNYA PERJANJIAN
Menurut azas konsensualitas, suatu perjanjian dilahirkan pada detik tercapainya sepakat atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang menjadi obyek perjanjian. Sepakat adalah suatu persesuaian paham dan kehendak antara dua pihak tersebut. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu adalah juga yang dikehendaki oleh pihak yang lainnya, meskipun tidak sejurusan tetapi secara bertimbal balik. Kedua kehendak itu bertemu satu sama lain.
Dengan demikian maka untuk mengetahui apakah telah dilahirkan suatu perjanjian dan bilamanakah perjanjian itu dilahirkan, harus dipastikan apakah telah tercapai sepakat tersebut dan bilamana tercapainya sepakat itu.
Menurut ajaran yang paling tua, harus dipegang teguh tentang danya suatu persesuaian kehendak anatara kedua belah pihak. Apabila kedua kehendak itu berselisih, tak dapatlah dilahirkan suatu perjanjian . dalam suatu masyarakat kecil dan sederhana, dimana kedua belah pihak itu berjumpa atau hadir sendiri dan pembicaraan diadakan secara lisan, ukuran tersebut masih dapat dipakai, tetapi dalam suatu masyarakat yang sudah ramai dan modern, ukuran tersebut tak dapat dipertahankan lagi. Sejak orang memakai surat menyurat dan telegram ( kawat ) dalam menyelenggarakan urusan – urusannya , maka ukuran dan syarat bahwa untuk tercapainya suatu perjanjian diharuskan adanya persesuaian kehendak, terpaksa ditinggalkan.
Karena suatu perjanjian dilahirkan pada detik tercapainya sepakat, maka perjanjian itu lahir pada detik diterimanya suatu penawaran. Apabila seorang melakukan suatu penawaran, dan penawaran itu diterima oleh orang lain secara tertulis, artinya orang lain ini menulis surat bahwa ia menerima penawaran itu, pada detik manakah lahirnya perjanjian itu. Apakah pada detik dikirimnya surat ataukah pada detik diterimanya surat itu oleh pihak yang melakukan penawaran ?
Menurut ajaran yang lazim dianut sekarang, perjanjian harus dianggap dilahirkan pada saat dimana pihak yang melakukan penawaran menerima jawaban yang termaktub dalam surat tersebut, sebab detik itulah dapat dianggap sebagai detik lahirnya sepakat.
Tempat tinggal pihak yang mengadakan penawaran itu berlaku sebagai tempat lahirnya atau ditutupnya perjanjian. Tempat inipun penting untuk menetapkan hukum manakah yang akan berlaku, yaitu apabila kedua belah pihak berada ditempat yang berlainan di dalam negeri untuk menetapkan bertempat tinggal di Negara yang berlainan ataupun , apabila mereka adapt kebiasaan dari tempat atau daerah manakah yang akan berlaku.
Dengan demikian maka untuk mengetahui apakah telah dilahirkan suatu perjanjian dan bilamanakah perjanjian itu dilahirkan, harus dipastikan apakah telah tercapai sepakat tersebut dan bilamana tercapainya sepakat itu.
Menurut ajaran yang paling tua, harus dipegang teguh tentang danya suatu persesuaian kehendak anatara kedua belah pihak. Apabila kedua kehendak itu berselisih, tak dapatlah dilahirkan suatu perjanjian . dalam suatu masyarakat kecil dan sederhana, dimana kedua belah pihak itu berjumpa atau hadir sendiri dan pembicaraan diadakan secara lisan, ukuran tersebut masih dapat dipakai, tetapi dalam suatu masyarakat yang sudah ramai dan modern, ukuran tersebut tak dapat dipertahankan lagi. Sejak orang memakai surat menyurat dan telegram ( kawat ) dalam menyelenggarakan urusan – urusannya , maka ukuran dan syarat bahwa untuk tercapainya suatu perjanjian diharuskan adanya persesuaian kehendak, terpaksa ditinggalkan.
Karena suatu perjanjian dilahirkan pada detik tercapainya sepakat, maka perjanjian itu lahir pada detik diterimanya suatu penawaran. Apabila seorang melakukan suatu penawaran, dan penawaran itu diterima oleh orang lain secara tertulis, artinya orang lain ini menulis surat bahwa ia menerima penawaran itu, pada detik manakah lahirnya perjanjian itu. Apakah pada detik dikirimnya surat ataukah pada detik diterimanya surat itu oleh pihak yang melakukan penawaran ?
Menurut ajaran yang lazim dianut sekarang, perjanjian harus dianggap dilahirkan pada saat dimana pihak yang melakukan penawaran menerima jawaban yang termaktub dalam surat tersebut, sebab detik itulah dapat dianggap sebagai detik lahirnya sepakat.
Tempat tinggal pihak yang mengadakan penawaran itu berlaku sebagai tempat lahirnya atau ditutupnya perjanjian. Tempat inipun penting untuk menetapkan hukum manakah yang akan berlaku, yaitu apabila kedua belah pihak berada ditempat yang berlainan di dalam negeri untuk menetapkan bertempat tinggal di Negara yang berlainan ataupun , apabila mereka adapt kebiasaan dari tempat atau daerah manakah yang akan berlaku.
PEMBATALAN SUATU PERJANJIAN
Dalam syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian telah diterangkan bahwa , apabila suatu syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjiannya adalah batal demi hukum ( null and void ). Dalam hal yang demikian maka secara yuridis dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian itu. Tujuan para pihak untuk meletakkan pihak yang satu menuntut pihak yang lain di muka hakim, karena dasar-dasar hukumnya ada suatu perjanjian atau perikatran.
Apabila, pada waktu pembuatan perjanjian, ada kekurangan mengenai syarat yang subyektif, maka sebagaimana sudut kita lihat, perjanjian itu bukannya batal demi hukum ,tetapi dapat dimintakan pembatalanya ( canceling ) oleh salah satu pihak. Pihak ini adalah : pihak yang tidak cakap menurut hukum ( yang meminta : orangtua atau walinya, ataupun ia sendiri apabila ia sudah menjadi cakap ), dan pihak yang memberikan perjanjian atau menyetujui itu secara tidak bebas.
Persetujuan kedua belah pihak yang merupakan sepakat itu harus diberikan secara bebas. Dalam hukum perjanjian ada tiga sebab yang membuat perijinan tadi tidak bebas, yaitu : paksaan, kekhilafan dan penipuan.
Yang dimaksud dengan pemaksaan adalah pemaksaan rohani atau jiwa, jadi bukan paksaan badan atau phisik. Misalnya salah satu pihak karena diancam atau ditakut-takuti terpaksa menyetujui suatu perjanjian.
Kekhilafan atau kekeliruan terjadi, apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi objek perjanjian, ataupun tentang mengenai seseorang dengan siapa diadakan perjanjian itu, kekhilafan tersebut harus sedemikian rupa, hingga, seandainya orang itu tidak khilaf mengenai hal-hal tersebut, ia tidak akan memberikan persetujuannya.
Penipuan terjadi, apabila suatu pihak dengan sengaja memberikan keterangan – keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan akal-akalan yang serdik , untuk membujuk pihak lawannya memberikan, perjanjiannya. Pihak yang menipu itu bertindak secara aktif untuk menjerumuskan pihak lawannya. Misalnya mobil yang ditawarkan diganti dulu mereknya, nomor mesinnya dipalsukan dan lain sebagainya. Menurut yurisprudensi maka tak cukuplah kalau orang itu hanya melakukan kebohongan mengenai sesuatu hal saja, paling sedikit harus ada suatu “ rangkaian kebohongan” atau suatu perbuatan yang dinamakan “ tipu – muslihat ”, seperti yang dilakukan oleh si penjual mobil tersebut di atas.
Terhadap azas konsensualitas yang dilakukan oleh pasal 1320 kitab undang-undang hukum perdata, ada kekecualiannya, yaitu di sana-sini oleh undang-undang ditetapkan suatu formalitas untuk beberapa macam perjanjian, misalnya : perjanjian penghibahan benda tak bergerak harus dilakukan dengan akte notaries, perjanjian prdamaian harus dibuat secara tertulis dan lain sebagainya. Perjanjian – perjanjian untuk mana ditetapkan seseuatu formalitas atau bentuk cara tertentu itu sebagaimana sudah kita lihat, dinmakan perjanjian formil. Apabila perjanjian yang demikian itu tidak memenuhi formalitas byang ditetapkan oleh undang-undang , maka ia adalah batal demi hukum.
Apabila, pada waktu pembuatan perjanjian, ada kekurangan mengenai syarat yang subyektif, maka sebagaimana sudut kita lihat, perjanjian itu bukannya batal demi hukum ,tetapi dapat dimintakan pembatalanya ( canceling ) oleh salah satu pihak. Pihak ini adalah : pihak yang tidak cakap menurut hukum ( yang meminta : orangtua atau walinya, ataupun ia sendiri apabila ia sudah menjadi cakap ), dan pihak yang memberikan perjanjian atau menyetujui itu secara tidak bebas.
Persetujuan kedua belah pihak yang merupakan sepakat itu harus diberikan secara bebas. Dalam hukum perjanjian ada tiga sebab yang membuat perijinan tadi tidak bebas, yaitu : paksaan, kekhilafan dan penipuan.
Yang dimaksud dengan pemaksaan adalah pemaksaan rohani atau jiwa, jadi bukan paksaan badan atau phisik. Misalnya salah satu pihak karena diancam atau ditakut-takuti terpaksa menyetujui suatu perjanjian.
Kekhilafan atau kekeliruan terjadi, apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi objek perjanjian, ataupun tentang mengenai seseorang dengan siapa diadakan perjanjian itu, kekhilafan tersebut harus sedemikian rupa, hingga, seandainya orang itu tidak khilaf mengenai hal-hal tersebut, ia tidak akan memberikan persetujuannya.
Penipuan terjadi, apabila suatu pihak dengan sengaja memberikan keterangan – keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan akal-akalan yang serdik , untuk membujuk pihak lawannya memberikan, perjanjiannya. Pihak yang menipu itu bertindak secara aktif untuk menjerumuskan pihak lawannya. Misalnya mobil yang ditawarkan diganti dulu mereknya, nomor mesinnya dipalsukan dan lain sebagainya. Menurut yurisprudensi maka tak cukuplah kalau orang itu hanya melakukan kebohongan mengenai sesuatu hal saja, paling sedikit harus ada suatu “ rangkaian kebohongan” atau suatu perbuatan yang dinamakan “ tipu – muslihat ”, seperti yang dilakukan oleh si penjual mobil tersebut di atas.
Terhadap azas konsensualitas yang dilakukan oleh pasal 1320 kitab undang-undang hukum perdata, ada kekecualiannya, yaitu di sana-sini oleh undang-undang ditetapkan suatu formalitas untuk beberapa macam perjanjian, misalnya : perjanjian penghibahan benda tak bergerak harus dilakukan dengan akte notaries, perjanjian prdamaian harus dibuat secara tertulis dan lain sebagainya. Perjanjian – perjanjian untuk mana ditetapkan seseuatu formalitas atau bentuk cara tertentu itu sebagaimana sudah kita lihat, dinmakan perjanjian formil. Apabila perjanjian yang demikian itu tidak memenuhi formalitas byang ditetapkan oleh undang-undang , maka ia adalah batal demi hukum.
SYARAT-SYARAT UNTUK SAHNYA PERJANJIAN
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :
1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2. kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
3. suatu hal tertentu.
4. suatu sebab yang halal.
Demikianlah menurut pasal 1320 kitab undang-undang hukum perdata.
Dua syarat yang pertama dinamakan syarat-syarat subyektif , karena mengenai orang-orang atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyeknya dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.
Dengan “ sepakat ” atau juga dinamakan “ perizinan ” dimaksudkan bahwa kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, “ setuju ” atau “ seia-sekata ” mengenai hal – hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu adalah juga yang dikehendaki oleh pihak yang lain . meraka menghendaki sesuuatu yang sama secara bertmbal-balik : si penjual mengingini sejumlah uang, sedangkan si pembeli menginginkan berangnya si penjual.
Orang yang membuat suatu perjanjian harus “ cakap ” menurut hukum. Pada azasnya, setiap “ orang yang sudah dewasa “ atau ” akilbalig Dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut hukum. Dalam pasal 1330 kitab undang-undang hukum perdata disebut sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian:
1. orang-orang yang belum dewasa.
2. mereka yang diatur di bawah pengampunan .
3. orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan ole undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Dari sudut rasa keadilan, orang yang membuat suatu perjajian nantinya akan “ terikat ” oleh perjanjian itu dan mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyafi benar-benar akan tanggung-jawab yang dipikulnya dengan perbuatannya itu. Sedangkan dari sudut ketertiban hukum, oleh karena seorang yang membuat suatu perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaannya, orang tersebut harus seorang yang sungguh-sungguh berhak berbuat bebas dengan harta kekayaannya.
Menurut kitab undang-undang hukum perdata, seorang perempuan yang bersuami, untuk mengadakan suatu perjanjian, memerlukan bantuan atau izin ( kuasa tertulis ) dari suaminya ( pasal 108 kitab undang-undang hukum perdata ).
1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2. kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
3. suatu hal tertentu.
4. suatu sebab yang halal.
Demikianlah menurut pasal 1320 kitab undang-undang hukum perdata.
Dua syarat yang pertama dinamakan syarat-syarat subyektif , karena mengenai orang-orang atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyeknya dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.
Dengan “ sepakat ” atau juga dinamakan “ perizinan ” dimaksudkan bahwa kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, “ setuju ” atau “ seia-sekata ” mengenai hal – hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu adalah juga yang dikehendaki oleh pihak yang lain . meraka menghendaki sesuuatu yang sama secara bertmbal-balik : si penjual mengingini sejumlah uang, sedangkan si pembeli menginginkan berangnya si penjual.
Orang yang membuat suatu perjanjian harus “ cakap ” menurut hukum. Pada azasnya, setiap “ orang yang sudah dewasa “ atau ” akilbalig Dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut hukum. Dalam pasal 1330 kitab undang-undang hukum perdata disebut sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian:
1. orang-orang yang belum dewasa.
2. mereka yang diatur di bawah pengampunan .
3. orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan ole undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Dari sudut rasa keadilan, orang yang membuat suatu perjajian nantinya akan “ terikat ” oleh perjanjian itu dan mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyafi benar-benar akan tanggung-jawab yang dipikulnya dengan perbuatannya itu. Sedangkan dari sudut ketertiban hukum, oleh karena seorang yang membuat suatu perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaannya, orang tersebut harus seorang yang sungguh-sungguh berhak berbuat bebas dengan harta kekayaannya.
Menurut kitab undang-undang hukum perdata, seorang perempuan yang bersuami, untuk mengadakan suatu perjanjian, memerlukan bantuan atau izin ( kuasa tertulis ) dari suaminya ( pasal 108 kitab undang-undang hukum perdata ).
MACAM – MACAM PERIKATAN
Bentuk perikatan yang paling sederhana, ialah suatu perikatan yang masing-masing pihak hanya ada satu prestasi yang seketika juga dapat ditagih pembayaranya. Di samping bentuk yang paling sederhana ini, terdapat beberapa macam perikatan lain sebagai berikut :
A. perikatan bersyarat ( voorwaardelijk )
perikatan bersyarat adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian dikemudian hari, yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi. pertama mungkin untuk memperjanjikan, bahwa perikatan itu barulah akan lahir, apabila kejadian yang belum tentu itu timbul.
B. perikatan yang digantungkan pada suatu ketetapan waktu ( tijdsbepaling ).
Perbedaan antara suatu syarat dengan suatu ketetapan waktu ialah yang pertama berupa suatu kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau tidak akan terlaksana, sedangkan yang kedua adalah suatu hal yang pasti akan datang , meskipun mungkin belum dapat ditentukan kapan datangnya, misalnya meninggalkan seseorang. Contohnya suatu perikatan yang digantungkan pada suatu ketetapan waktu , banyak selaki dalam prakteknya, seperti perjanjian perburuhan, suatu hutanf wesel yang dapat ditagih suatu waktu setelahnya dipertunjukan dan lain sebagainya.
C. perikatan yang membolehkan memilih ( alternatife ).
Ini adalah suatu perikatan, di mana terdapat dua atau lebih macam prestasi, sedangkan kepada si berhutang diserahkan yang mana ia akan lakukan. Misalnya ia boleh memiliki apakah ia akan memberikan kuda atau mobilnya atau uang satu juta rupiah.
D. perikatan tanggung-menanggung ( hoofdelijk atau solidair ).
Suatu perikatan di mana beberapa orng bersama-sama sebagai pihak yang berhutang berhadapan dengan satu orang yang menghutang, atau sebaliknya. Beberapan orang sama-sama berhak menagih suatu piutang dari satu orang. Tetapi perikatan semacam yang belakangan ini, sedikit sekali terdapat dalm praktek.
E. perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi.
Suatu perikatan dapat dibagi atau tidak, tergantung pada kemungkinan tidaknya membagi prestasi. Pada hakekatnya tergantung pula dari kehendak atau maksud kedua belah pihak yang membuat suatu perjanjian. Persoalan tentang dapat atau tidaknya dibagi suatu perikatan, barulah tampil ke muka, jika salah satu pihak dalam perjanjian telah digantikan oleh beberapa orang lain. Hal mana biasanya terjadi karena meninggalnya satu pihak yang menyebabkan ia digantikan dalam segala hak-haknya oleh sekalian ahliwarisnya.
F. perikatan dengan penetapan hukuman ( strafbeding ).
Untuk mencegah jangan sampai si berhutang dengan mudah saja melalaikan kewajibannya. Dalam praktek banyak dipakai perjanjian di mana si berhutang dikenakan suatu hukuman, apabila ia tidak menetapi kewajibannya, dalam praktek banyak dipakai perjanjian di mana si berhutang dikenakan suatu hukuman, apabila ia tidak menepati kewajibannya. Hukuman ini, biasanya ditetapkan dalam suatu jumlah uang tertentu yang sebenarnya merupakan suatu pembayaran kerugian yang sejak semula sudah ditetapkan sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian itu.
A. perikatan bersyarat ( voorwaardelijk )
perikatan bersyarat adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian dikemudian hari, yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi. pertama mungkin untuk memperjanjikan, bahwa perikatan itu barulah akan lahir, apabila kejadian yang belum tentu itu timbul.
B. perikatan yang digantungkan pada suatu ketetapan waktu ( tijdsbepaling ).
Perbedaan antara suatu syarat dengan suatu ketetapan waktu ialah yang pertama berupa suatu kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau tidak akan terlaksana, sedangkan yang kedua adalah suatu hal yang pasti akan datang , meskipun mungkin belum dapat ditentukan kapan datangnya, misalnya meninggalkan seseorang. Contohnya suatu perikatan yang digantungkan pada suatu ketetapan waktu , banyak selaki dalam prakteknya, seperti perjanjian perburuhan, suatu hutanf wesel yang dapat ditagih suatu waktu setelahnya dipertunjukan dan lain sebagainya.
C. perikatan yang membolehkan memilih ( alternatife ).
Ini adalah suatu perikatan, di mana terdapat dua atau lebih macam prestasi, sedangkan kepada si berhutang diserahkan yang mana ia akan lakukan. Misalnya ia boleh memiliki apakah ia akan memberikan kuda atau mobilnya atau uang satu juta rupiah.
D. perikatan tanggung-menanggung ( hoofdelijk atau solidair ).
Suatu perikatan di mana beberapa orng bersama-sama sebagai pihak yang berhutang berhadapan dengan satu orang yang menghutang, atau sebaliknya. Beberapan orang sama-sama berhak menagih suatu piutang dari satu orang. Tetapi perikatan semacam yang belakangan ini, sedikit sekali terdapat dalm praktek.
E. perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi.
Suatu perikatan dapat dibagi atau tidak, tergantung pada kemungkinan tidaknya membagi prestasi. Pada hakekatnya tergantung pula dari kehendak atau maksud kedua belah pihak yang membuat suatu perjanjian. Persoalan tentang dapat atau tidaknya dibagi suatu perikatan, barulah tampil ke muka, jika salah satu pihak dalam perjanjian telah digantikan oleh beberapa orang lain. Hal mana biasanya terjadi karena meninggalnya satu pihak yang menyebabkan ia digantikan dalam segala hak-haknya oleh sekalian ahliwarisnya.
F. perikatan dengan penetapan hukuman ( strafbeding ).
Untuk mencegah jangan sampai si berhutang dengan mudah saja melalaikan kewajibannya. Dalam praktek banyak dipakai perjanjian di mana si berhutang dikenakan suatu hukuman, apabila ia tidak menetapi kewajibannya, dalam praktek banyak dipakai perjanjian di mana si berhutang dikenakan suatu hukuman, apabila ia tidak menepati kewajibannya. Hukuman ini, biasanya ditetapkan dalam suatu jumlah uang tertentu yang sebenarnya merupakan suatu pembayaran kerugian yang sejak semula sudah ditetapkan sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian itu.
HUKUM PERIKATAN DAN PERJANJIAN
Perihal perikatan dan sumber-sumbernya
Perkataan “ perikatan ” ( verbintenis ) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan “ perjanjian “, sebab dalam perikatan diatur juga perihal hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum dan perihal perkataan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan.
Adapun yang dimaksudkan dengan “ perikatan ” ialah : suatu hubungan hukum anatar dua orang, yaitu memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Pihak yang berhak menuntut tuntutan dinamakan pihak berhutang atau “ debitur ”. adapun barang sesuatu yang dapat dituntut dinamakan “ presntasi ”, yang menurut undang-undang dapat berupa :
• Menyerahkan suatu barang ;
• Melakukan suatu perbuatan ;
• Tidak melakukan suatu perbuatan.
Cara melaksanakan suatu putusan, yang oleh hakim dikuasakan pada orang berpiutang untuk mewujudkan sendiri apa yang menjadi haknya, dinamakan “ reele executive ” dalam B.W. sendiri cara pelaksanaan ini dibolehkan dalam hal-hal berikut :
1. dalam hal perjanjian yang bertujuan bahwa suatu pihak tidak akan melakukan suatu perbuatan.
2. dalam hal perjanjian untuk membuat suatu barang , pihak yang berkepentingan dapat dikuasai oleh hakim untuk membuat sendiri atau menyuruh orang lain membuatnya.
Perikatan tersebut di bawah ini semuanya termasuk dalam golongan natuurlijke verbintenis, boleh dikatakan sudah menjadi suatu pendapat umum :
1. hutang-hutang yang terjadi karena perjudian, oleh pasal 1788 tidak diizinkan untuk menuntut pembayaran.
2. pembayaran bunga dalam hal pinjaman uang yang tidak semata-mata diperjanjikan, jika si berhutang membayar bunga yang tidak diperjanjikan itu, ia tidak dapat memintanya kembali, kecuali jika apa yang telah dibayarkan itu melampaui bunga menurut undang-undang ( 6 persen ).
3. sisa hutang seorang pailit, setelah dilakukan pembayaran menurut perdamaian ( accord ).
Perkataan “ perikatan ” ( verbintenis ) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan “ perjanjian “, sebab dalam perikatan diatur juga perihal hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum dan perihal perkataan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan.
Adapun yang dimaksudkan dengan “ perikatan ” ialah : suatu hubungan hukum anatar dua orang, yaitu memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Pihak yang berhak menuntut tuntutan dinamakan pihak berhutang atau “ debitur ”. adapun barang sesuatu yang dapat dituntut dinamakan “ presntasi ”, yang menurut undang-undang dapat berupa :
• Menyerahkan suatu barang ;
• Melakukan suatu perbuatan ;
• Tidak melakukan suatu perbuatan.
Cara melaksanakan suatu putusan, yang oleh hakim dikuasakan pada orang berpiutang untuk mewujudkan sendiri apa yang menjadi haknya, dinamakan “ reele executive ” dalam B.W. sendiri cara pelaksanaan ini dibolehkan dalam hal-hal berikut :
1. dalam hal perjanjian yang bertujuan bahwa suatu pihak tidak akan melakukan suatu perbuatan.
2. dalam hal perjanjian untuk membuat suatu barang , pihak yang berkepentingan dapat dikuasai oleh hakim untuk membuat sendiri atau menyuruh orang lain membuatnya.
Perikatan tersebut di bawah ini semuanya termasuk dalam golongan natuurlijke verbintenis, boleh dikatakan sudah menjadi suatu pendapat umum :
1. hutang-hutang yang terjadi karena perjudian, oleh pasal 1788 tidak diizinkan untuk menuntut pembayaran.
2. pembayaran bunga dalam hal pinjaman uang yang tidak semata-mata diperjanjikan, jika si berhutang membayar bunga yang tidak diperjanjikan itu, ia tidak dapat memintanya kembali, kecuali jika apa yang telah dibayarkan itu melampaui bunga menurut undang-undang ( 6 persen ).
3. sisa hutang seorang pailit, setelah dilakukan pembayaran menurut perdamaian ( accord ).
SISTEMATIKA HUKUM PERDATA
Sistematika hukum perdata kita ( BW ) ada dua pendapat. Pendapat yang pertama yaitu , dari pemberlaku undang-undang berisi :
Buku I :berisi mengenai orang . di dalamnya diatur hukum tentang diri seseorang dan hukum kekeluargaan.
Buku II :berisi tentang hal benda. Dan di dalamnya diatur hukum keadaan dan hukum waris.
Buku III :berisi tentang hal perikatan. Didalamnya diatur hak-hak dan kewajiban timbale balik antara orang-orang atau pihak-pihak tertentu.
Buku IV :berisi tentang pembuktian dan daluarsa. Di dalamnya diatur tentang alat-alat pembuktian dan akibat-akibat hukum yang timbul dari adanya daluwarsa itu.
Pendapat pembentukan Undang-undang ( BW )
Buku I :mengenai orang
Buku II :mengenai benda
Buku II :mengenai perikatan
Buku IV :mengenai pembuktian
Pendapat yang kedua menurut ilmu hukum / doktri dibagi dalam 4 bagian yaitu :
1. hukum tentang diri seseorang ( pribadi )
mengatur tentang manusia sebagai subyek dalam hukum , mengatur tentang prihal kecakapan untuk memiliki hak-hak dan kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-hak itu dan sek=lanjutnya tentang hal-hal yang mempengaruhi kecakapan itu.
2. hukum kekeluargaan
mengatur prihal hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan yaitu :
• perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan anatara suami dengan istri, hubungan anatara ornag tua dan anak, perkawinan dan curatela.
3. hukum kekayaan
mengatur prihal hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang.
Jika kita mengatakan tentang kekayaan seseorang maka yang dimaksudkan ialah jumlah dari segala hak dari kewajiban orang itu dinilai dengan uang.
4. hukum warisan
mengatur tentang benda atau kekayaan seseorang jika ia meninggal. Disamping itu hukum warisan mengatur akibat-akibat dari hubungan keluarga terhadap harta peninggalan seseorang.
Pendapat menurut ilmu hukum / doktrin :
• Hukum pribadi
• Hukum kekeluargaan
• Hukum kekayaan
• Hukum warisan
Buku I :berisi mengenai orang . di dalamnya diatur hukum tentang diri seseorang dan hukum kekeluargaan.
Buku II :berisi tentang hal benda. Dan di dalamnya diatur hukum keadaan dan hukum waris.
Buku III :berisi tentang hal perikatan. Didalamnya diatur hak-hak dan kewajiban timbale balik antara orang-orang atau pihak-pihak tertentu.
Buku IV :berisi tentang pembuktian dan daluarsa. Di dalamnya diatur tentang alat-alat pembuktian dan akibat-akibat hukum yang timbul dari adanya daluwarsa itu.
Pendapat pembentukan Undang-undang ( BW )
Buku I :mengenai orang
Buku II :mengenai benda
Buku II :mengenai perikatan
Buku IV :mengenai pembuktian
Pendapat yang kedua menurut ilmu hukum / doktri dibagi dalam 4 bagian yaitu :
1. hukum tentang diri seseorang ( pribadi )
mengatur tentang manusia sebagai subyek dalam hukum , mengatur tentang prihal kecakapan untuk memiliki hak-hak dan kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-hak itu dan sek=lanjutnya tentang hal-hal yang mempengaruhi kecakapan itu.
2. hukum kekeluargaan
mengatur prihal hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan yaitu :
• perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan anatara suami dengan istri, hubungan anatara ornag tua dan anak, perkawinan dan curatela.
3. hukum kekayaan
mengatur prihal hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang.
Jika kita mengatakan tentang kekayaan seseorang maka yang dimaksudkan ialah jumlah dari segala hak dari kewajiban orang itu dinilai dengan uang.
4. hukum warisan
mengatur tentang benda atau kekayaan seseorang jika ia meninggal. Disamping itu hukum warisan mengatur akibat-akibat dari hubungan keluarga terhadap harta peninggalan seseorang.
Pendapat menurut ilmu hukum / doktrin :
• Hukum pribadi
• Hukum kekeluargaan
• Hukum kekayaan
• Hukum warisan
PENGERTIAN DAN KEADAAN HUKUM PERDATA DI INDONESIA
Yang dimaksud dengan Hukum Perdata ialah hukum yang mengatur hubungan antara perorangan di dalam masyarakat.
Perkataan Hukum Perdata dalam arti yang luas meliputi semua Hukum Privat materiil dan dapat juga dikatakan sebagai lawan dari Hukum Pidana.
Untuk hukum privat materiil ini ada juga yang menggunakan dengan perkataan hukum sipil, tetapi oleh Karena perkataan sipiil juga digunakan sebagai lawan dari militer maka yang lebih umum digunakan nama Hukum Perdata saja, untuk segenap peraturan hukum Privat materiil ( Hukum Perdata Materiil ).
Dan pengertian dari Hukum Perdata ialah hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur hubungan antara perseorangan di dalam masyarakat dan kepentingan dari masing-masing orang yang bersangkutan. Dalam arti bahwa di dalamnya terkandung hak dan kewajiban seseorang dengan seseuatu pihak secara timbale balik dalam hubungannya terhadap orang lain di dalam suatu masyarakat tertentu.
Disamping hukum privat materiil, juga dikenal Hukum Perdata Formil yang lebih dikenal sekarang yaitu dengan HAP ( Hukum Acara Perdata ) atau proses perdata yang artinya hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur bagaimana caranya melaksanakan praktek di lingkungan pengadilan perdata.
Di dalam pengertian sempit kadang-kadang Hukum Perdata ini digunakan sebagai lawan Hukum Dagang.
Keadaan hukum perdata dewasa ini di Indonesia.
Mengenai keadaan hukum perdata dewasa ini di Indonesia dapat kita katakana masih bersifat majemuk yaitu masih beraneka warna. Penyebab dari keanekaragaman ini ada 2 faktor yaitu :
1. factor ethnis disebabkan keaneka ragaman hukum adat bangsa Indonesia karena Negara kita Indonesia ini terdiri dari beberapa suku bangsa.
2. factor hostia yuridis yang dapat kita lihat, yang pada pasal 163.I.S. yang membagi penduduk Indonesia dalam tiga golongan, yaitu :
• golongan eropa dan yang dipersamakan.
• Golongan bumi putera ( pribumi / bangsa Indonesia asli ) dan yang dipersamakan.
• Golongan timur asing ( bangsa cina, India, arab ).
Dan pasal 131.I.S. yaitu mengatur hukum-hukum yang diberlakukan bagi masing-masing golongan yang tersebut dalam pasal 163 I.S. diatas .
Adapun hukum yang diperlakukan bagi masing-masing golongan yaitu :
• Bagi golongan eropa dan yang dipersamakan berlaku huku perdata dan hukum dagang barat yang diselenggarakan dengan hukum perdata dan hukum dagang di negara belanda berdasarkan azas konkordinasi.
• Bagi golongan bumi putera dan yang dipersamakan berlaku hukum adat mereka. Yaitu hukum yang sejak dahulu kala berlaku di kalangan rakyat, dimana sebagian besar dari hukum adat tersebut belum tertulis, tetapi hidup dalam tindakan-tindakan rakyat.
• Bagi golongan timur asing berlaku hukum masing-masing , dengan catatan bahwa golongan bumi putera dan timur asing diperbolehkan untuk menundukan diri kepada hukum eropa barat baik secara keseluruhan maupun untuk macam tindakan hukum tertentu saja.
Peraturan – peraturan yang secara khusus dibuat untuk bangsa Indonesia seperti :
• Ordonansi perkawinan bangsa Indonesia Kristen ( staatsblad 1933 bno 7.4 ).
• Organisasi tentang maskapai andil Indonesia ( IMA ) Staatsblad 1939 no 570 berhubungan dengan no 717.
Dan ada pula peraturan-peraturan yang berlaku bagi semua golongan warga Negara , yaitu :
• Undang-undang hak pengarang ( auteurswet tahun 1912 ).
• Peraturan umum tentang koperasi ( saatsblad 1933 no 108 ).
• Ordonansi woeker ( saatsblad 1938 no 523 ).
• Ordonansi tentang pengangkutan di udara ( staatsblad 1938 no 98 ).
Perkataan Hukum Perdata dalam arti yang luas meliputi semua Hukum Privat materiil dan dapat juga dikatakan sebagai lawan dari Hukum Pidana.
Untuk hukum privat materiil ini ada juga yang menggunakan dengan perkataan hukum sipil, tetapi oleh Karena perkataan sipiil juga digunakan sebagai lawan dari militer maka yang lebih umum digunakan nama Hukum Perdata saja, untuk segenap peraturan hukum Privat materiil ( Hukum Perdata Materiil ).
Dan pengertian dari Hukum Perdata ialah hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur hubungan antara perseorangan di dalam masyarakat dan kepentingan dari masing-masing orang yang bersangkutan. Dalam arti bahwa di dalamnya terkandung hak dan kewajiban seseorang dengan seseuatu pihak secara timbale balik dalam hubungannya terhadap orang lain di dalam suatu masyarakat tertentu.
Disamping hukum privat materiil, juga dikenal Hukum Perdata Formil yang lebih dikenal sekarang yaitu dengan HAP ( Hukum Acara Perdata ) atau proses perdata yang artinya hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur bagaimana caranya melaksanakan praktek di lingkungan pengadilan perdata.
Di dalam pengertian sempit kadang-kadang Hukum Perdata ini digunakan sebagai lawan Hukum Dagang.
Keadaan hukum perdata dewasa ini di Indonesia.
Mengenai keadaan hukum perdata dewasa ini di Indonesia dapat kita katakana masih bersifat majemuk yaitu masih beraneka warna. Penyebab dari keanekaragaman ini ada 2 faktor yaitu :
1. factor ethnis disebabkan keaneka ragaman hukum adat bangsa Indonesia karena Negara kita Indonesia ini terdiri dari beberapa suku bangsa.
2. factor hostia yuridis yang dapat kita lihat, yang pada pasal 163.I.S. yang membagi penduduk Indonesia dalam tiga golongan, yaitu :
• golongan eropa dan yang dipersamakan.
• Golongan bumi putera ( pribumi / bangsa Indonesia asli ) dan yang dipersamakan.
• Golongan timur asing ( bangsa cina, India, arab ).
Dan pasal 131.I.S. yaitu mengatur hukum-hukum yang diberlakukan bagi masing-masing golongan yang tersebut dalam pasal 163 I.S. diatas .
Adapun hukum yang diperlakukan bagi masing-masing golongan yaitu :
• Bagi golongan eropa dan yang dipersamakan berlaku huku perdata dan hukum dagang barat yang diselenggarakan dengan hukum perdata dan hukum dagang di negara belanda berdasarkan azas konkordinasi.
• Bagi golongan bumi putera dan yang dipersamakan berlaku hukum adat mereka. Yaitu hukum yang sejak dahulu kala berlaku di kalangan rakyat, dimana sebagian besar dari hukum adat tersebut belum tertulis, tetapi hidup dalam tindakan-tindakan rakyat.
• Bagi golongan timur asing berlaku hukum masing-masing , dengan catatan bahwa golongan bumi putera dan timur asing diperbolehkan untuk menundukan diri kepada hukum eropa barat baik secara keseluruhan maupun untuk macam tindakan hukum tertentu saja.
Peraturan – peraturan yang secara khusus dibuat untuk bangsa Indonesia seperti :
• Ordonansi perkawinan bangsa Indonesia Kristen ( staatsblad 1933 bno 7.4 ).
• Organisasi tentang maskapai andil Indonesia ( IMA ) Staatsblad 1939 no 570 berhubungan dengan no 717.
Dan ada pula peraturan-peraturan yang berlaku bagi semua golongan warga Negara , yaitu :
• Undang-undang hak pengarang ( auteurswet tahun 1912 ).
• Peraturan umum tentang koperasi ( saatsblad 1933 no 108 ).
• Ordonansi woeker ( saatsblad 1938 no 523 ).
• Ordonansi tentang pengangkutan di udara ( staatsblad 1938 no 98 ).
HUKUM PERDATA
Hukum perdata yang berlaku di Indonesia
Sejarah singkat hukum perdata yang berlaku di Indonesia
Sejarah membuktikan bahwa Hukum Perdata yang saat ini berlaku di Indonesia, tidak lepas dari sejarah Hukum Perdata Eropa.
Bermula di benua Eropa, terutama di Eropa Kontinental berlaku Hukum Perdata Romawi, disamping adanya Hukum tertulis dan Hukum kebiasaan setempat. Diterimanya Hukum Perdata Romawi pada waktu itu sebagai hukum asli dari Negara-negara di Eropa , oleh karena keadaan hukum di Eropa kacau-balau, dimana tiap-tiap daerah selain mempunyai peraturan-peraturan sendiri, juga peraturan setiap daerah itu berbeda-beda.
Pada tahun 1804 atas prakarsa Napoleon terhimpunlah Hukum Perdata dalam satu kumpulan peraturan yang bernama “ code civil des francais ” yang juga dapat disebut “ Code Napoleon ”, karena Code Civil des Francais ini adalah merupakan sebagian dari Code Napoleon.
Sebagai petunjuk penyusunan Code Civil ini dipergunakan karangan dari beberapa ahli hukum anatara lain Dumoulin, Domat dan Pothies, disamping itu juga diperlukan Hukum Bumi Putra Lama, Hukum Jeronia dan Hukum Cononiek.
Dan mengenai peraturan-peraturan hukum yang belum ada di Jaman Romawi antara lain masalah wesswl, assuransi, badan-badan hukum. Akhirnya pada jaman Aufklarung ( jaman baru sekitar abad pertengahan ) akhirnya dimuat pada kitab Undang-undang tersendiri dengan nama “ Code de Commerce ”.
Sejalan dengan adanya penjajahan oleh bangsa Belanda ( 1809-1811), maka Raja Lodewijk Napoleon Menetapkan : “ Wetboek Napoleon Ingeright Voor het Koninkrijk Holland ” yang isinya mirip dengan “code civil des francais atau code napoleon ” untuk dijadikan sumber Hukum Perdata di Belanda ( Nederland ).
Setelah berakhirnya penjajahan dan dinyatakan Nederland disatukan dengan Perancis pada tahun 1811, code civil des francais atau code Napoleon ini tetap berlaku di Belanda ( Nederland ).
Oleh karena perkembangan jaman , dan setelah beberapa tahun kemerdekaan Belanda dari perancis ini, bangsa Belanda mulai memikirkan dan mengerjakan kodifikasi dari Hukum Perdatanya. Dan tepatnya 5 juli 1830 kodifikasi ini selesai dengan terbentuknya BW ( Burgerlijk Wetboek ) dan WVK ( Wetboek van koophandle ) ini adalah produk Nasional-nederland namun isi dan bentuk-bentuknya sebagian besar sama dengan code civil des francais dan code de commerce.
Dan pada tahun 2948, kedua Undang-undang produk Nasional-Nederland ini berlaku di Indonesia berdasarkan azas koncordantie ( azas politik hukum ).
Sampai sekarang kita kenal dengan nama KUH sipil ( KUHP ) untuk BW ( Burgerlijk Wetboek ). Sedangkan KUH Dagang untuk WVK ( Wetboek van koophandle ).
Sejarah singkat hukum perdata yang berlaku di Indonesia
Sejarah membuktikan bahwa Hukum Perdata yang saat ini berlaku di Indonesia, tidak lepas dari sejarah Hukum Perdata Eropa.
Bermula di benua Eropa, terutama di Eropa Kontinental berlaku Hukum Perdata Romawi, disamping adanya Hukum tertulis dan Hukum kebiasaan setempat. Diterimanya Hukum Perdata Romawi pada waktu itu sebagai hukum asli dari Negara-negara di Eropa , oleh karena keadaan hukum di Eropa kacau-balau, dimana tiap-tiap daerah selain mempunyai peraturan-peraturan sendiri, juga peraturan setiap daerah itu berbeda-beda.
Pada tahun 1804 atas prakarsa Napoleon terhimpunlah Hukum Perdata dalam satu kumpulan peraturan yang bernama “ code civil des francais ” yang juga dapat disebut “ Code Napoleon ”, karena Code Civil des Francais ini adalah merupakan sebagian dari Code Napoleon.
Sebagai petunjuk penyusunan Code Civil ini dipergunakan karangan dari beberapa ahli hukum anatara lain Dumoulin, Domat dan Pothies, disamping itu juga diperlukan Hukum Bumi Putra Lama, Hukum Jeronia dan Hukum Cononiek.
Dan mengenai peraturan-peraturan hukum yang belum ada di Jaman Romawi antara lain masalah wesswl, assuransi, badan-badan hukum. Akhirnya pada jaman Aufklarung ( jaman baru sekitar abad pertengahan ) akhirnya dimuat pada kitab Undang-undang tersendiri dengan nama “ Code de Commerce ”.
Sejalan dengan adanya penjajahan oleh bangsa Belanda ( 1809-1811), maka Raja Lodewijk Napoleon Menetapkan : “ Wetboek Napoleon Ingeright Voor het Koninkrijk Holland ” yang isinya mirip dengan “code civil des francais atau code napoleon ” untuk dijadikan sumber Hukum Perdata di Belanda ( Nederland ).
Setelah berakhirnya penjajahan dan dinyatakan Nederland disatukan dengan Perancis pada tahun 1811, code civil des francais atau code Napoleon ini tetap berlaku di Belanda ( Nederland ).
Oleh karena perkembangan jaman , dan setelah beberapa tahun kemerdekaan Belanda dari perancis ini, bangsa Belanda mulai memikirkan dan mengerjakan kodifikasi dari Hukum Perdatanya. Dan tepatnya 5 juli 1830 kodifikasi ini selesai dengan terbentuknya BW ( Burgerlijk Wetboek ) dan WVK ( Wetboek van koophandle ) ini adalah produk Nasional-nederland namun isi dan bentuk-bentuknya sebagian besar sama dengan code civil des francais dan code de commerce.
Dan pada tahun 2948, kedua Undang-undang produk Nasional-Nederland ini berlaku di Indonesia berdasarkan azas koncordantie ( azas politik hukum ).
Sampai sekarang kita kenal dengan nama KUH sipil ( KUHP ) untuk BW ( Burgerlijk Wetboek ). Sedangkan KUH Dagang untuk WVK ( Wetboek van koophandle ).
Senin, 04 April 2011
APLIKASI HUKUM ISLAM DALAM PRAKTIK EKONOMI ISLAM DI INDONESIA
APLIKASI HUKUM ISLAM
DALAM PRAKTIK EKONOMI ISLAM
DI INDONESIA
Oleh:
Rahmani Timorita Yulianti
Perkembangan ekonomi Islam di tanah air, meliputi kajian akademis di Perguruan Tinggi maupun secara praktik operasioanl seperti yang terjadi di lembaga- lembaga perekonomian Islam seperti Perbankan Syariah, Asuransi Syariah, Pasar Modal Syariah, dan sebagainya. Perkembangan tersebut diharapkan semakin melebar meliputi aspek dan cakupan yang sangat luas, seperti kebijakan ekonomi negara, ekonomi pemerintah daerah, ekonomi makro (kebijakan fiskal, public finance, strategi mengatasi kemiskinan serta pengangguran, inflasi, kebijakan moneter), dan permasalahan ekonomi lainnya, seperti upah dan perburuhan dan lain-lain. Dalam perkembangan di bidang lembaga perekonomian agar mampu bersaing dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat bisnis modern, diperlukan inovasi-inovasi produk dengan tetap mematuhi prinsip-prinsip syariah dalam operasionalnya.Walaupun terkesan agak lambat jika dibandingkan dengan maraknya lembaga-lembaga perekonomian Islam di Indonesia, tetapi hadirnya Kompilasi Hukum Ekonomi Islam (KHES) di Indonesia pada akhir 2008 yang lalu patut diapresiasi secara baik. Paling tidak KHES merupakan terobosan baru dalam aspek pemikiran hukum ekonomi Islam di Indonesia. Aplikasi hukum Islam dalam praktik ekonomi Islam di Indonesia lainnya adalah diterapkannya fatwa-fatwa DSN MUI yang menjamin produk dan operasional lembaga-lembaga perekonomian Islam di Indonesia telah sesuai dengan prinsip syariah.
Perkembangan praktik ekonomi Islam di Indonesia mulai mendapatkan momentum yang berarti sejak didirikannya Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1992. Pada saat itu sistem perbankan Islam memperoleh dasar hukum secara formal dengan berlakunya UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan, yang telah direvisi dalam UU nomor 10 tahun 1998. Selanjutnya berturut-turut telah hadir beberapa UU sebagai bentuk dukungan pemerintah terhadap kemajuan praktik ekonomi Islam di Indonesia.
Praktik ekonomi Islam di bidang lembaga perekonomian mengalami akselerasi yang signifikan, baik di dunia maupun di Indonesia. Pada era modern ini, perbankan syariah sebagai salah satu lembaga perekonomian telah menjadi fenomena global, termasuk di negara-negara yang tidak berpenduduk mayoritas muslim. Berdasarkan prediksi McKinsey pada tahun 2010 total aset mencapai satu miliar dolar AS. Tingkat pertumbuhan 100 bank syariah terbesar di dunia mencapai 27 persen per tahun dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan 100 bank konvensional terbesar yang hanya mencapai 19 persen per tahun.
UU No 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU No 7/1989 tentang Peradilan Agama, telah disahkan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 21 Februari 2006. Kelahiran Undang-Undang ini membawa pengaruh besar terhadap perundang-undangan yang mengatur harta benda, bisnis dan perdagangan secara luas. Pada UU No. 3 tahun 2006 pasal 49 point i disebutkan, bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang –orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah.
Amandemen ini membawa implikasi baru dalam sejarah hukum ekonomi Islam di Indonesia. Selama ini, wewenang untuk menangani perselisihan atau sengketa dalam bidang ekonomi syariah diselesaikan di Pengadilan Negeri yang notabene belum bisa dianggap sebagai hukum syari’ah. Dalam realitasnya, sebelum amandemen UU No 7/1989 ini, penegakkan hukum kontrak bisnis di lembaga-lembaga perekonomian Islam tersebut, mengacu pada ketentuan KUH Perdata.
Kehadiran KHES berdasarkan PERMA No 2 Tahun 2008 tanggal 10 September, layak diapresiasi dan direspon konstruktif dengan melakukan studi kritis terhadap materi yang ada di dalam KHES yang berisi 4 buku, 43 bab, 796 pasal. Buku I tentang Subyek Hukum dan Amwal (3 bab, 19 Pasal), Buku II tentang Akad (29 bab, 655 Pasal). Buku III tentang Zakat dan Hibah (4 bab, 60 Pasal), dan Buku IV tentang Akuntansi Syariah (7 bab, 62 Pasal).
Di antara beberapa hal yang perlu dikritisi adalah pertama, posisi KHES dalam konteks bangunan hukum nasional. Kedua, paradigma dan prinsip yang menjadi pijakan dalam perumusan KHES. Ketiga, pendekatan dan metode istinbat yang dilakukan tim KHES dalam melahirkan hukum ekonomi syari’ah. Keempat, hubungan KHES dengan undang-undang terkait. Kelima, kedudukan dan kewenangan Dewan Syari’ah Nasional (DSN) pasca lahirnya KHES. Keenam, apakah aturan-aturan hukum di dalam KHES memberikan ruang yang cukup luas bagi perkembangan ekonomi syariah atau malah sebaliknya akan membatasi ruang gerak ekonomi syariah.
hukum ekonomi Islam, secara umum belum dipraktikkan dan belum banyak yang menjadikan adat-istiadat umat Islam. Hukum ekonomi Islam secara kelembagaan hanya dipraktikkan lewat lembaga perekonomian yang secara hukum memang harus ada yang mengaturnya karena menyangkut hak-hak dan kepentingan banyak pihak dan dalam skala yang lebih besar. Sehingga perbedaan tersebut juga berimplikasi terhadap perbedaan proses positifisasinya.
Sehingga positifisasi tersebut berangkat dari gejala institusionalisasi hukum ekonomi Islam yang secara adat belum banyak dipraktikkan oleh seluruh umat Islam. Kalau melihat langsung pada praktiknya, justru masih banyak praktik ekonomi umat Islam yang masih menyimpang dari hukum Islam dan semakin mengkristal menjadi semacam kebiasaan. Bahkan lembaga-lembaga perekonomian Islam yang menjadi barisan terdepan dalam penegakan hukum ekonomi Islampun juga belum sepenuhnya mengaplikasikannya. Hal ini dapat dibuktikan dari beberapa hasil survei, ternyata bank-bank syari'ah pada umumnya, lebih banyak menerapkan murabahah sebagai metode pembiayaan mereka yang utama, meliputi kurang lebih tujuh puluh lima persen (75%) dari total pembiayaan mereka. Sementara itu, hasil penelitian di BMI Semarang pada tahun 1999, sekitar tujuh puluh delapan persen (78%) dari total pembiayaannya adalah pembiayaan murabahah. Padahal, sebenarnya bank syari'ah memiliki produk unggulan, yang berbasis profit and loss sharing (PLS), yaitu mudharabah dan musyarakah.
aplikasi hukum Islam dalam praktik ekonomi Islam di Indonesia belakangan ini, menurut amatan penulis, penyusunan KHES nampak ’keburu-buru’, kurang banyak menggali aspek-aspek sosiologis umat Islam dan legal opinion di kalangan pakar, ulama, pesantren, dan akademisi. Yang dilibatkan hanya sebagain kecil saja, meskipun dalam konteks ini tidak bermaksud negatif. Lain halnya ketika penyusunan KHI sebelumnya yang banyak melibatkan para ulama (kiai), pesantren, akademisi fakultas syari’ah beberapa IAIN ternama di Indonesia, dan praktisi.Aplikasi hukum Islam dalam praktik ekonomi Islam di Indonesia lainnya adalah penyusunan fatwa DSN MUI. Para praktisi ekonomi Islam, masyarakat dan pemerintah (regulator) membutuhkan fatwa-fatwa dari MUI berkaitan dengan praktik dan produk lembaga perekonomian Islam. Perkembangan lembaga tersebut yang demikian cepat harus diimbangi dengan fatwa-fatwa hukum Islam yang valid dan akurat, agar seluruh produknya memiliki landasan yang kuat secara syari’ah. Untuk itulah Dewan Syari’ah Nasional (DSN) dilahirkan pada tahun 1999 sebagai bagian dari Majlis Ulama Indonesia.
Perkembangan praktik ekonomi Islam di Indonesia saat ini, mengalami akselerasi yang luarbiasa. Selanjutnya berturut-turut telah hadir beberapa Undang-undang yang mengatur lembaga perekonomian Islam di Indonesia, sebagai bentuk dukungan pemerintah terhadap kemajuan tersebut. Selain itu, juga berimplikasi terhadap aplikasi hukum Islam dalam operasional dan inovasi produk pada lembaga perekonomian Islam dan kemungkinan terjadinya penyelesaian sengketa ekonomi syariah oleh Pengadilan Agama. Dalam kerangka itulah hadir Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yang memberikan terobosan baru dalam sejarah pemikiran hukum ekonomi Islam di Indonesia. Di samping itu, para praktisi ekonomi Islam, masyarakat dan pemerintah (regulator) membutuhkan fatwa-fatwa DSN MUI berkaitan dengan praktik dan produk lembaga perekonomian Islam.
sumber : http://master.islamic.uii.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=52&Itemid=59
DALAM PRAKTIK EKONOMI ISLAM
DI INDONESIA
Oleh:
Rahmani Timorita Yulianti
Perkembangan ekonomi Islam di tanah air, meliputi kajian akademis di Perguruan Tinggi maupun secara praktik operasioanl seperti yang terjadi di lembaga- lembaga perekonomian Islam seperti Perbankan Syariah, Asuransi Syariah, Pasar Modal Syariah, dan sebagainya. Perkembangan tersebut diharapkan semakin melebar meliputi aspek dan cakupan yang sangat luas, seperti kebijakan ekonomi negara, ekonomi pemerintah daerah, ekonomi makro (kebijakan fiskal, public finance, strategi mengatasi kemiskinan serta pengangguran, inflasi, kebijakan moneter), dan permasalahan ekonomi lainnya, seperti upah dan perburuhan dan lain-lain. Dalam perkembangan di bidang lembaga perekonomian agar mampu bersaing dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat bisnis modern, diperlukan inovasi-inovasi produk dengan tetap mematuhi prinsip-prinsip syariah dalam operasionalnya.Walaupun terkesan agak lambat jika dibandingkan dengan maraknya lembaga-lembaga perekonomian Islam di Indonesia, tetapi hadirnya Kompilasi Hukum Ekonomi Islam (KHES) di Indonesia pada akhir 2008 yang lalu patut diapresiasi secara baik. Paling tidak KHES merupakan terobosan baru dalam aspek pemikiran hukum ekonomi Islam di Indonesia. Aplikasi hukum Islam dalam praktik ekonomi Islam di Indonesia lainnya adalah diterapkannya fatwa-fatwa DSN MUI yang menjamin produk dan operasional lembaga-lembaga perekonomian Islam di Indonesia telah sesuai dengan prinsip syariah.
Perkembangan praktik ekonomi Islam di Indonesia mulai mendapatkan momentum yang berarti sejak didirikannya Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1992. Pada saat itu sistem perbankan Islam memperoleh dasar hukum secara formal dengan berlakunya UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan, yang telah direvisi dalam UU nomor 10 tahun 1998. Selanjutnya berturut-turut telah hadir beberapa UU sebagai bentuk dukungan pemerintah terhadap kemajuan praktik ekonomi Islam di Indonesia.
Praktik ekonomi Islam di bidang lembaga perekonomian mengalami akselerasi yang signifikan, baik di dunia maupun di Indonesia. Pada era modern ini, perbankan syariah sebagai salah satu lembaga perekonomian telah menjadi fenomena global, termasuk di negara-negara yang tidak berpenduduk mayoritas muslim. Berdasarkan prediksi McKinsey pada tahun 2010 total aset mencapai satu miliar dolar AS. Tingkat pertumbuhan 100 bank syariah terbesar di dunia mencapai 27 persen per tahun dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan 100 bank konvensional terbesar yang hanya mencapai 19 persen per tahun.
UU No 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU No 7/1989 tentang Peradilan Agama, telah disahkan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 21 Februari 2006. Kelahiran Undang-Undang ini membawa pengaruh besar terhadap perundang-undangan yang mengatur harta benda, bisnis dan perdagangan secara luas. Pada UU No. 3 tahun 2006 pasal 49 point i disebutkan, bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang –orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah.
Amandemen ini membawa implikasi baru dalam sejarah hukum ekonomi Islam di Indonesia. Selama ini, wewenang untuk menangani perselisihan atau sengketa dalam bidang ekonomi syariah diselesaikan di Pengadilan Negeri yang notabene belum bisa dianggap sebagai hukum syari’ah. Dalam realitasnya, sebelum amandemen UU No 7/1989 ini, penegakkan hukum kontrak bisnis di lembaga-lembaga perekonomian Islam tersebut, mengacu pada ketentuan KUH Perdata.
Kehadiran KHES berdasarkan PERMA No 2 Tahun 2008 tanggal 10 September, layak diapresiasi dan direspon konstruktif dengan melakukan studi kritis terhadap materi yang ada di dalam KHES yang berisi 4 buku, 43 bab, 796 pasal. Buku I tentang Subyek Hukum dan Amwal (3 bab, 19 Pasal), Buku II tentang Akad (29 bab, 655 Pasal). Buku III tentang Zakat dan Hibah (4 bab, 60 Pasal), dan Buku IV tentang Akuntansi Syariah (7 bab, 62 Pasal).
Di antara beberapa hal yang perlu dikritisi adalah pertama, posisi KHES dalam konteks bangunan hukum nasional. Kedua, paradigma dan prinsip yang menjadi pijakan dalam perumusan KHES. Ketiga, pendekatan dan metode istinbat yang dilakukan tim KHES dalam melahirkan hukum ekonomi syari’ah. Keempat, hubungan KHES dengan undang-undang terkait. Kelima, kedudukan dan kewenangan Dewan Syari’ah Nasional (DSN) pasca lahirnya KHES. Keenam, apakah aturan-aturan hukum di dalam KHES memberikan ruang yang cukup luas bagi perkembangan ekonomi syariah atau malah sebaliknya akan membatasi ruang gerak ekonomi syariah.
hukum ekonomi Islam, secara umum belum dipraktikkan dan belum banyak yang menjadikan adat-istiadat umat Islam. Hukum ekonomi Islam secara kelembagaan hanya dipraktikkan lewat lembaga perekonomian yang secara hukum memang harus ada yang mengaturnya karena menyangkut hak-hak dan kepentingan banyak pihak dan dalam skala yang lebih besar. Sehingga perbedaan tersebut juga berimplikasi terhadap perbedaan proses positifisasinya.
Sehingga positifisasi tersebut berangkat dari gejala institusionalisasi hukum ekonomi Islam yang secara adat belum banyak dipraktikkan oleh seluruh umat Islam. Kalau melihat langsung pada praktiknya, justru masih banyak praktik ekonomi umat Islam yang masih menyimpang dari hukum Islam dan semakin mengkristal menjadi semacam kebiasaan. Bahkan lembaga-lembaga perekonomian Islam yang menjadi barisan terdepan dalam penegakan hukum ekonomi Islampun juga belum sepenuhnya mengaplikasikannya. Hal ini dapat dibuktikan dari beberapa hasil survei, ternyata bank-bank syari'ah pada umumnya, lebih banyak menerapkan murabahah sebagai metode pembiayaan mereka yang utama, meliputi kurang lebih tujuh puluh lima persen (75%) dari total pembiayaan mereka. Sementara itu, hasil penelitian di BMI Semarang pada tahun 1999, sekitar tujuh puluh delapan persen (78%) dari total pembiayaannya adalah pembiayaan murabahah. Padahal, sebenarnya bank syari'ah memiliki produk unggulan, yang berbasis profit and loss sharing (PLS), yaitu mudharabah dan musyarakah.
aplikasi hukum Islam dalam praktik ekonomi Islam di Indonesia belakangan ini, menurut amatan penulis, penyusunan KHES nampak ’keburu-buru’, kurang banyak menggali aspek-aspek sosiologis umat Islam dan legal opinion di kalangan pakar, ulama, pesantren, dan akademisi. Yang dilibatkan hanya sebagain kecil saja, meskipun dalam konteks ini tidak bermaksud negatif. Lain halnya ketika penyusunan KHI sebelumnya yang banyak melibatkan para ulama (kiai), pesantren, akademisi fakultas syari’ah beberapa IAIN ternama di Indonesia, dan praktisi.Aplikasi hukum Islam dalam praktik ekonomi Islam di Indonesia lainnya adalah penyusunan fatwa DSN MUI. Para praktisi ekonomi Islam, masyarakat dan pemerintah (regulator) membutuhkan fatwa-fatwa dari MUI berkaitan dengan praktik dan produk lembaga perekonomian Islam. Perkembangan lembaga tersebut yang demikian cepat harus diimbangi dengan fatwa-fatwa hukum Islam yang valid dan akurat, agar seluruh produknya memiliki landasan yang kuat secara syari’ah. Untuk itulah Dewan Syari’ah Nasional (DSN) dilahirkan pada tahun 1999 sebagai bagian dari Majlis Ulama Indonesia.
Perkembangan praktik ekonomi Islam di Indonesia saat ini, mengalami akselerasi yang luarbiasa. Selanjutnya berturut-turut telah hadir beberapa Undang-undang yang mengatur lembaga perekonomian Islam di Indonesia, sebagai bentuk dukungan pemerintah terhadap kemajuan tersebut. Selain itu, juga berimplikasi terhadap aplikasi hukum Islam dalam operasional dan inovasi produk pada lembaga perekonomian Islam dan kemungkinan terjadinya penyelesaian sengketa ekonomi syariah oleh Pengadilan Agama. Dalam kerangka itulah hadir Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yang memberikan terobosan baru dalam sejarah pemikiran hukum ekonomi Islam di Indonesia. Di samping itu, para praktisi ekonomi Islam, masyarakat dan pemerintah (regulator) membutuhkan fatwa-fatwa DSN MUI berkaitan dengan praktik dan produk lembaga perekonomian Islam.
sumber : http://master.islamic.uii.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=52&Itemid=59